Kamis, Januari 24, 2008

Can’t take my eyes of u


Selepas memanjakan mata lewat permainan menawan Persipura, tombol kendali TV jarak jauh akhirnya tertumbuk pada acara musik lagu-lagu lama di stasiun lokal Malang TV. Empat orang pemuda di layar, dengan akustik yang sedikit fals,mendendangkan can’t take my eyes of u. Setting panggungnya sederhana, terlampau sederhana malah. Saya baru sadar. Ternyata, panggung seperti itu tidak hanya ada di TVRI saja,(he..he..). Namun saya tidak berhasrat berganti saluran. Sudah kadung kecantol.

Saya tidak tahu persis siapa yang pertama kali menyanyikan lagu itu. Banyak versi yang berkali-kali mampir di telingga. Dari tempo lembut yang melayang sampai tipe cepat nan gahar. Tetapi ada satu versi yang sampai sekarang masih melekat di kepala, yakni ketika tembang tersebut mampir sebentar di Film The Deer Hunter. Tiga tahun sudah saya tidak menontonnya. Tapi, setiap kali lagu tersebut dibawa angin, selalu potongan adegan film itu yang muncul. Karena efek kuat kenangan, film berbintang antara lain Robert de Niro dan Christhoper Walken tersebut secara otomatis menjadi salah satu favoritku.

Sangat tragik. Sangat menyentuh. Ceritanya tentang empat sekawan pemuda, pekerja kasar pabrik baja, penggemar berburu kijang, yang berpisah karena tiga orang dari mereka harus berangkat perang ke Vietnam. Adegan-adegan gembira mendadak getir. Satu orang mati, karena dipaksa menembak diri sendiri dalam judi russian roullete. Satu orang buntung kaki, padahal masih pengantin baru. Satu orang terakhir mendapati cinta pelik sepulang perang dan akhirnya kesepian.

Bagi saya, sutradara Michel Cimino amat fasih menghadirkan sisi gelap perang Vietnam. Sesuatu yang langka. Karena notabene, kebanyakan film perang Vietnam tahun 1970-an temanya hampir segaram, heroisme Amerika. Tambahan lagi, film ini sangat diluar pakem. Cerita utamanya perang, tetapi lebih dari 1 jam durasinya, isinya ”hanya” drama persahabatan. Sama sekali tidak ada dar der dor-nya. Walau tidak disuguhi banyak darah dan serpah-serpih tubuh, pada saat menjelang film berakhir, saya yang tidak pernah berperang ini, bisa ambil kesimpulan, ah..betapa perang sangatlah pahit. Amit-amit, aksi bunuh-bunuhan massal seperti itu, jangan sampai ada lagi di muka bumi ini.

Oya, lagu can’t take my eyes for u mucul, ketika empat sekawan dari Pennsylvania itu main billiard di salah satu bar murah pinggir kota. Menghibur diri sehabis kerja. Semua orang terbahak, setengah mabuk dan sempoyongan sambil adu keras bersenandung… I love you baby, and if it’s quite allrigt, I need you baby. to warm a lonely night, I love you baby, trust in me when I say…..

*Malang. (Saya lupa tanggalnya).
Sehabis Persipura menghabisi Persik 4-1, di laga lanjutan 8 besar Liga Indonesia.
pict dari : http://www.moodart.co.uk/UploadedFiles/Artwork/De%20Nero%20-%20Deer%20Hunter%20copy.jpg

Read More......

Selasa, Januari 22, 2008

Takut


Adakah manusia yang tak mengenal rasa takut. Saya kira tidak ada. Karena sebetulnya manusia itu makhluk yang teramat lemah.

Orang sekuat, setrengginas samurai jalanan Miyamoto Mushashi-pun bergidik luar biasa jika cinta mulai menghampiri jiwanya. Kalau dipersempit lagi ia sebenarnya takut terhadap wanita.

Orang Jepang yang hidup semasa dinasti Tokugawa itu merasa tatapan wanita, lebih tajam dari pedang manapun yanng pernah ia temui. Tusukannya melebihi rasa sakit akibat kibasan dan goresan senjata rantai bergerigi pisau, yang sering mendarat ke jantung lapisan kulit serta menembus dagingnya. Mata wanita, dalam benak Mushahi, meminjam larik penyair Dorothea Rosa Herliani, bagaikan pemburu terik paling laknat. Ironis, jika melihat sepak terjang sang perkasa Mushashi, yang pada masa lalunya enteng membunuhi puluhan orang, dalam duel berdarah medan perang akbar Sekigahara, maupun dalam berbagai aksi pengeroyokan dan aksi tarung satu lawan satu. Meskipun toh akhirnya, pemuda dari Miyamoto itu jatuh cinta juga pada Otsu, seorang gadis sekampung yang sedari awal mengaguminya, proses “penyembuhan” itu memakan waktu sampai bertahun-tahun.

Mushahi juga gusar jika sepi mulai menghampiri. Untuk yang terakhir ini bisa jadi setiap manusia pernah mengalami. Meski dengan kadar berbeda-beda. Seceria apapun, seorang anak manusia akan terkatup jika tidak ada partner bicara, baik material maupun metafisik. Bayangkan, betapa hampa jika setiap kali kita harus berbicara pada bayang-bayang diri sendiri. Manusia oleh karena itu selalu menginginkan kerumunan, atau kalau tidak ia akan terus berkabung.

Saya kira, hal jamak bahwa ketakutan manusia beraneka rupa. Ia tidak mengenal jenis kelamin dan umur. Ada yang laten ada pula yang kon
disional. Seorang teman-sebagai contoh-bisa melemparkan segulung koran yang ia baca sekuat tenaga, sambil menjerit tertahan, ketika gambar ular tanpa sengaja bertumbuk dengan matanya. “Rasanya sampai menohok ulu hati”, akunya. “Bulu kuduk menyelinap ke sekujur tubuh”. Teman saya itu sangat takut terhadap ular. Meski hanya berupa gambar, atau patung, atau foto, atau kartun anak-anak-yang sebenarnya lucu. Fairouz, teman saya yang lain, resah luar biasa jika derit suara mengendap di genting rumah sewaktu malam. Ia menjadi gelisah, jangan-jangan itu maling. Dulu, sewaktu kontrakannya belum disatroni pencuri yang menyikat seunit CPU komputer, suara-suara yang setiap kali hadir disela-sela tidur dianggapnya enteng. “Ah mungkin hanya suara kucing”, pikirnya. Alhasil, kini ia selalu ditemani sebatang celurit tajam disamping kasur. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menenangkan batin dan merasa aman sewaktu tidur.

Kalau diingat-ingat saya punya banyak teman yang mengalami katakutan “aneh-aneh”. Semacam phobia. Ada yang menjerit-jerit histeris jika sebuah saja karet gelang dihadapannya. Ada pula yang blingsatan kalau bertemu dengan peniti.

Saya sendiri paling takut ketinggian. Saya tidak bisa melupakan dua jam sepuluh menit itu, sewaktu terbang pergi-pulang Surabaya-Jakarta, beberapa bulan lampau. Rasanya ingin jatuh saja. Badan menggigil. Keringat mengucur deras dari berbagai sudut tubuh, dari setiap bagian seperempat juta sel penghasil kelenjar tiroid itu. Sepanjang perjalanan saya tidak berhenti berpegangan pada tangan kursi. Kalau bukan karena teman sebelah yang terus saja bercerita dan karena kebetulan pesawat tersebut memiliki track record bagus, saya mungkin sudah pingsan.

Jelas ini ada hubungannya dengan kenangan. Kadang kenangan yang menyakitkan dan dibumbui berjajarnya derak-derak fantasi membuat kita trauma. Takut pada ular, maling, karet gelang dan peniti atau yang saya punya, ketinggian, adalah bagian dari sakitnya kenangan yang terus menerus dipelihara memori otak. Betapa sulit menghancurkan bejana kenangan buruk. Kalau kegembiraan yang membuncah begitu mudah menguap, tidak demikian dengan kesedihan akut. Ia akan terus menempel sampai kapanpun. Terutama jika itu dialami bebarengan dengan masa kanak-kanak.

Masih segar tergambar bagaimana Agung, sambil berjongkok, muntah berat di hadapan saya. Wajah kuning langsatnya menjadi merah pucat. Tengkuknya mendadak lemah, tak kuat berdiri untuk beberapa saat. Mata sayunya seolah mengatakan ia tidak sanggup lagi pulang. Karena tubuh sahabat SD saya itu tidak bisa lagi meniti daki keletihan tak terperi. Saya sedih, mengapa wahana permainan pasar malam itu, yang seharusnya membikin tertawa malah membuatnya limbung. Tetapi saya lebih sedih lagi mengapa orang-orang disekeliling menertawakan sahabat saya itu. “Masak anak lelaki begitu saja muntah, ha..ha..ha..kacangan”, tawa beberapa lelaki dewasa disekitar pecah berderai-derai, seolah habis melihat humor paling lucu tahun itu. Memangnya kalau lelaki tidak boleh lemah, tidak boleh sakit, tidak boleh rentan dan libung. Omong kosong apalagi ini.

Wahana pasar malam itu bernama Ombak Laut. Kami menyebutnya begitu. Bentuknya sangat sederhana. Lingkaran kayu itu berupa tempat duduk panjang. Porosnya adalah batang besi tegak. Kumparan di atasnya membuat lingkaran itu bisa bergerak memutar, naik dan turun, bergelombang mirip ombak. Alat itu digerakkan secara manual. Petugas pasar malam, seolah tanpa lelah, terus menggenjot serta memutar kayu itu sepanjang malam. Sesekali sambil berlari. Karena manual, itu menjadi tidak konstan. Kebetulan ketika Agung ikut serta, putaran sungguh kencang, Ombak Laut-pun mengawang terbawa angin ke atas-ke bawah. Air muka agung pucat. Ingin segera mengakhiri permaian. Tetapi ombak laut belum bisa berhenti. Beberapa lelaki dewasa menggaungkan koor “teruuuussss…teruuuussss”. Masak sudah beli tiket “mahal-mahal” mainnya hanya sebentar.

Setelah kejadian itu, sampai sekarang, saya tidak akan pernah berani-berani mencoba permainan yang melibatkan ketinggian apalagi kalau ditambah kecepatan. Bahkan saya-pun tidak berani naik komidi putar. Entah sampai kapan.

Dan saya tidak peduli dengan deretan kata-kata “penakut, bencong, upil” yang sebetulnya menyakiti nurani itu, ketika saya bersikeras menolak berpartisipasi pada salah satu wahana permainan Jatim Park tempo hari. Saya juga toh tidak harus membuktikan apa-apa. Bahkan ketika salah seorang perempuan aktivis studi gender, mengolok dengan kata looser, loooser berkali-kali, saya hanya tertawa dalam hati, aktivis feminis koq seksis. Penolakan tersebut berarti juga, lelaki seperti saya tidak boleh takut pada permainan “ecek-ecek” jenis itu. Ternyata lelaki seperti saya juga bisa menjadi korban diskriminasi, tidak hanya perempuan, anak kecil ataupun orang berkulit hitam.

Maaf. Saya tidak kuasa melawan rasa takut itu. Tak bisa pula mengahapus mencekamnya bayang nanar wajah Agung dari benak.

pict lukisan van gogh diambil dari:www.penwith.co.uk/artofeurope/van_gogh.htm
pict big wave dari : www.dg58.dupage.k12.il.us/.../catchawave.htm

Read More......

Selasa, Januari 15, 2008

Profesor Telo

Yang jelas saya merasa muak dengan tingkah, kata dan polah ketua jurusan itu. Seorang profesor, lulusan ‘londo’, yang selalu menggunakan kata2 normatif,mengatasnamakan rakyat miskin dan tertindas, mengatasnamakan mahasiswa… kadang dengan bahasa inggris…pada seminar2, pertemuan “ilmiah” dan bahkan ujian terbuka doktoral yang dingin dan kaku…namun begitu pongah dan angkuh dalam masyarakat kecilnya, kampus. Apalagi pada lingkungan sosialnya?


Ia, sang guru besar namun bernurani kecil itu, mungkin menganggap pendidikan yang didapatnya adalah segalanya, mungkin juga tidak sadar bahwa pendidikan itu berpotensi untuk menjajah. Mungkin juga baginya pendidikan bukan alat mensensitifkan jiwa, mempertebal empati, tapi jadi alat ekonomi, yang berujung pada peningkatan status, pangkat, strata sosial. Merasa sok berkuasa, sambil ongkang-ongkang kaki menikmati nikmat legitnya “jabatan profesor”.

Aku tambah muak, hampir muntah, melihatnya telah jauh dari realitas dan menanam saham jumlah besar untuk menebalkan mitos menara gading bagi perguruan tinggi, institusinya.
Ironis, jika ingat pada sumpah-sumpah jabatan, yang bisa jadi dilakoninya dengan khidmat, ia selalu menyebut “tridharma perguruan tinggi” seolah menyebutnya sebagai kata suci, sebagai mantra sakti..

Ah…muntahku tercecer dilantai!!

Malang, Siang bolong, 25 Juli 2007
Lantai 2 pengajaran, FIA,
Saat menunggu “dengan sabar” ketidakbecusan kerja adiminstratif staff pengajaran.


Read More......