Kamis, Juni 26, 2008

Foucault

Mendung kelabu memeluk Paris hari itu. Tanggal 25 Juni 1984, pada usia 58 tahun, Michel Foucault mangkat meninggalkan kita semua. Koran bereputasi internasional Le Monde, melaporkannya di halaman depan.

Sejenis penyakit ganas ditengarai sebagai penyebabnya. Waktu itu tidak banyak orang tahu apa dan bagaimana wabah itu bisa melumpuhkan seorang manusia. Di kemudian hari, setelah jutaan orang mengetahui bahwa penyakit itu bernama AIDS, merebaklah kontroversi. Foucault menjadi sosok terkenal pertama dari Perancis, yang dilaporkan meninggal karena sindrom tersebut.

Namun gamangkah kita karena kabar tersebut ? Gentarkah kita ?. Saya tidak. Foucault di surga sana pasti juga akan begitu. Pria gundul itu mengajarkan pada kita agar tidak silau pada selebritas seseorang. Manusia zaman sekarang, kata Foucault, terlalu di kendalikan oleh ketertarikan pada karakter orang. Persepsi selalu tercantol pada nama, pada wajah. Kata-kata tidak lagi didengarkan menurut kekuatan isinya, melainkan siapa yang mengucapkan.


Bagi saya, reportoar Foucault sangatlah bening. Ia tidak saja telah mengabarkan pada kita untuk berani memilih jalan sendiri. Lebih dari itu, ia juga telah membukakan jalan lain yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Memang tidaklah murah harga untuk membabat hutan itu. Bahkan seperti yang kita tahu, Foucault harus menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tumbal, bagi lempang jalan yang selalu dicintainya, Ilmu Pengetahuan.

Pengenalan pada seorang filsuf seperti Foucault menjadi mubadzir, kalau kita cupet memahami pemikirannya. Karena dari cara berfilsafatnya saja, kita sebetulnya sudah mengetahui siapa Foucault sebenarnya. Foucault menunjukkan melalui banyak tulisan, tentang penolakannya pada dunia yang dianggap sudah mapan ini. Kewajaran, kelaziman, kenormalan bukan barang yang ada dengan sendirinya. Ia tak lain merupakan konstruksi.

Menududukkan Foucault pada satu aliran filsafat tertentu, bukanlah pekerjaan mudah. Minatnya yang sangat luas pada sastra, filsafat sejarah, sosiologi, politik, psikologi, psikiatri, linguistik, semiotik, kriminologi dan lain sebagainya, membikin kita susah mengidentifikasi Foucault pada predikat tertentu.

Banyak ahli, bahkan yang sudah bangkotan, juga bingung menyematkan julukan pada pria yang lahir di Poitiers itu. Strukturaliskah ?, Neo-Strukturaliskah ?, Postrukturaliskah? atau Posmoderniskah ? arus yang ditekuri bekas murid filsuf mahsyur, Louis Althusser ini.

Apapun itu, Foucault tidak menyukai semua julukan yang dilekatkan orang padanya. Namun dari seluruh studi dan riset yang telah dilakukannya, Foucault sangatlah dekat dengan bidang sejarah. Seperti kata Konrad Kebung. Sejarah versi Foucault, bukanlah himpunan dan rekaman peristiwa-peristiwa masa lampau dan perkembangannya hingga kini. Sejarah tidak pula dilihat sebagai sesuatu yang memiliki tujuan di dalam dirinya.

Kalau memaksa mendefinisikan, sejarah di sini, adalah momen-momen, saat kebenaran dan kesalahan berkonfrontasi dalam pengetahuan kita. Metode yang dipakai Foucault yakni arkeologi dan genealogi, membantu kita untuk melihat sejarah dan mozaik masa lampau, sebagai pelita untuk membaca peristiwa dan hidup manusia masa kini. Justru karena itulah Foucault tidak dikenal sebagai sejarawan masa lalu, namun sejarawan masa kini. Sejarah di tangan Foucault, bukanlah barang kuno yang mati, beku serta tiada berguna. Sejarah ala Foucault tidak kurang adalah sebuah instrumen, juga wacana.

Konsep “kekuasaan” juga adalah salah satu sumbangan Foucault yang amat berharga. Foucault, tidak memandang kekuasaan sebagai konsep yang represif. Artinya, daya pancar kekuasaan tidak tersentral pada orang atau lembaga yang memaksakan kepentingannya untuk menundukkan yang lain.

Kekuasaan dalam terminologi Foucault tidaklah objektif dan terpusat. Ia merupakan jejaring yang menyebar secara halus, diskursif dan sangat subjektif. Kekuasan oleh karena itu tidak lagi bersifat represif apalagi opresif, tetapi produktif dengan melanggengkan kenormalan susunan kemasyarakatan. Penjara, sekolah, klinik-klinik kesehatan adalah lembaga-lembaga yang melanggengkan logika kuasa itu. Tubuh manusia lantas menjadi sangat disiplin. Ia tidak lebih dari organ yang taat dan selalu menaatkan diri.

Penjara dan seks merupakan salah satu tema sentral dalam karya-karya Foucault. Buku, Surveiller et Punir (1975) dan Histoire de la sexualite (1976) menegaskan hal itu. Seks di sini bukanlah hubungan yang melibatkan persoalan perkelaminan saja.

Seks yang hendak dibidik Foucault adalah sejarah seksualitas dalam beberapa periode dalam masyarakat barat. Seks pada akhirnya bukan lagi persoalan keintiman dan privat semata. Lebih dari itu, seks sangat terkait erat dengan kekuasaan dan wacana. Madam Sarup seperti yang dikutip Donny Gahral Adian mengatakan, seks di tangan Foucault, tidak lagi mempersoalkan bagaimana orang membelenggu yang lain. Melainkan bagaimana orang membelenggu dirinya sendiri.

Di titik inilah saya sebagai manusia merasa sangat berhutang pada Foucault. Ia dengan sabar dan gemilang menunjukkan wilayah yang sebelumnya gelap menjadi terang. Ia dengan teliti mengurai benang kusut dan keruwetan sejarah yang seolah tidak berhubungan itu, menjadi konsep baru, orisinil dan bahkan tidak terpikirkan sebelumnya. Michel Foucault, terima kasih banyak atas inspirasi yang menggugah ini.

*gambar diperoleh dari sini.

Bacaan :
-Basis Januari-Februari 2002
1. Orang yang Berjalan Di Depan Kita.
2. Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan.
3. Konrad Kebung, Kembalinya Moral Melalui Seks.
4. Donny Gahral Adian, Menabur Kuasa Menuai Wacana.
-John Lechte. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Kanisius, Yogyakarta.

Read More......

Minggu, Juni 22, 2008

Di Zurich, Ballet Menyala Kembali


Sejak masa imperium Romawi, kurang lebih 90 tahun setelah Yesus mangkat, Zurich telah dikenal sebagai salah satu kota paling makmur di Eropa. Ia merupakan situs sirkulasi pajak daerah taklukkan. Ia juga pusat percetakan uang dan markas besar bea cukai. Keluarga Manesse yang memerintah Swiss antara tahun 1304 hingga 1340 terus mempertahankan peran tersebut. Tidak heran peningkatan kesejahteraan penduduknya selalu di atas rata-rata tetangganya di Eropa daratan.

Hingga millenium ini, untuk masalah jaminan kehidupan, warga Zurich boleh tetap menepuk dada. Antara 2006 sampai 2008, Zurich menasbihkan diri sebagai kota dengan kualitas hidup terbaik di dunia. Zurich pun sangat multikultur. Ia adalah kota dunia. Dalam darah lebih kurang 370.000 orang Zurich, mengalir ras Jerman dan Italia, Albania serta Kosovo, untuk menyebut beberapa saja golongan yang paling besar.

Kesyahduan sungai Limmat menjadi cermin kedamaian, ketenangan serta keteraturan kota yang berada di negara paling “aman” di dunia, Swiss.

Bulan Juni tahun ini, wajah Zurich yang ayem sedikit berubah. Hajatan bola Piala Eropa, telah membawa kegairahan dan antusisme pada kota ini. Seperti dilaporkan berbagai jenis media massa, orang-orang dari penjuru Eropa, terutama Italia, Rumania dan Perancis tumpah ruah di bar dan area suporter yang tersedia. Bahkan jalanan dan stasiun bawah tanah begitu menyolok dengan hadirnya warna biru dan kuning, warga jersey tiga kesebelasan.

Stadion Letzigrund, memang beruntung menjadi tuan rumah untuk tiga pertandingan di pool neraka, Grup C. Sayang, publik Zurich tidak kesampaian untuk menikmati aksi Total Football Belanda menghabisi tiga raksasa, Italia, Perancis dan Romania. Stadion beratap pembangkit tenaga surya, Stade de Suisse Wankdorf, di Kota Bern, lebih mujur mendapat kehormatan, menyediakan lahan bagi team oranje untuk membinasakan dan mengubur lawan-lawannya dengan cara teramat cantik.

Meski begitu, Zurich tetap menyimpan memori istimewa. Pertandingan pamungkas di kota yang pernah ditinggali Albert Einstein dan Vladimir Lenin itu, menyuguhkan opera dengan lakon tumbangnya ayam jago uzur Perancis, dari juara dunia 2006 Italia. Walau dua gol kemenangan Azurri lahir tidak dari mekanisme serangan menawan, penalti Andrea Pirlo dan sepakan bebas Daniele de Rossi, lebih dari cukup untuk (sekali lagi) mengantar Italia lolos dari lubang jarum.
Meski Euro 2008 masih beberapa hari lagi. Pertunjukkan bola kaki sejatinya telah meninggalkan Zurich. Apalagi team Swiss juga sudah angkat kaki dari turnamen. Pentas opera, ballet dan teater yang “telah lama” melompong, kini bisa hiruk pikuk kembali.

*Gambar diambil dari sini

Read More......

Minggu, Juni 01, 2008

Lagak Jakarta


Untuk kedua kali seumur hidup, akhirnya saya membeli komik lagi. Dua hari lalu (30/05), dengan kesadaran penuh dan tanpa pikir panjang, saya mencomot Lagak Jakarta, dari rak buku Toga Mas, Malang. Pembelian ini juga tanpa bujuk rayu dan rengekan. Ini beda dengan tahun 1994, saat saya kelas 5 SD. Waktu itu saya mengerahkan tenaga penuh untuk memelaskan diri. Untuk membujuk Bapak yang tidak punya duit, agar mau membelikan komik si hantu baik, Casper.

Read More......