Rabu, Juli 30, 2008

Gandhi dan Saya

(Gandhi dan saya di sisi sini, pulau Bali di seberang sana)

Mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kali saya memakai kaos oblong bergambar Mahatma Gandhi. Seiring pergulatan waktu, saya suka, karena pas di badan, enak dipakai. Awalnya tidak ada niat untuk menyablon wajah tokoh luar biasa dari India itu. Namun beginilah akhirnya.

Saya yakin, hampir semua orang Indonesia yang pernah “bersekolah” mengetahui sosok Gandhi. Setidaknya pernah dengar. Di sekolah dasar, ketika dulu ada pelajaran PSPB (lalu Sejarah), Gandhi sudah menyita perhatian saya. Saya tidak habis pikir, ia, orang tua kecil kurus, gundul dan sederhana itu koq bisa menjadi tokoh yang sungguh punya nama besar, dikagumi, dikenang dan amat terkenal di hampir seluruh pelosok bumi ini.

Hingga hari ini, fotonya tidak hanya beku di kantor-kantor instansi pemerintah India saja. Nama Gandhi bahkan menjadi label, bagi banyak pemimpin negeri hindustan itu pada tahun-tahun setelahnya. Kurang lebih semacam trah. Seperti nama Kennedy dan Bush di Amerika Serikat.

Saya sendiri baru agak mendalam mengikuti sepak terjang Gandhi, ketika membacai otobiografi Indonesianya yang diterjemahkan dengan sangat apik oleh Gd. Bagoes Oka. Buku yang saya miliki diterbitkan tahun 1985. Itu pun sudah cetakan keempat. Penerbit Sinar Harapan meluncurkan edisi awalnya sepuluh tahun sebelumnya, alias tahun 1975.

“Gandhi, Sebuah Otobiografi”, judul buku itu, saya beli Oktober 2005 dari kios Pustaka Sarjana milik mas Nasir, seorang pedagang buku lawas yang mangkal di Jalan Sriwijaya, dekat stasiun Kota Baru, Malang. Sekarang si Mas sudah memindahkan usahanya ke Jalan MT Haryono, bersebrangan dengan gedung angkuh nan kaku milik Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.

Kembali ke kaos oblong. Kawan saya Yoyok dibantu Jatriek yang membikinkannya. Ketika menerima pertama kali dari mereka sekitar dua tahun lampau, waktu antri tiket kereta api di stasiun Malang, saya tidak terlampau sreg dengan tampilannya. Selain sablonannya yang belepotan, kualitas kaosnya pun jelek. Gerah sekali pas dipakai.

Memang harganya murah, hanya 35 ribu. Tetapi dari pengalaman, dengan harga segitu, pada saat itu, saya bisa mendapatkan kaos yang relatif lebih bagus kualitasnya. Tambahan lagi, tulisan satyagraha yang seharusnya nonggol di bagian belakang kaos, seperti pesanan saya, munculnya malah di sisi dalam. Mereka meminta maaf dan berjanji memperbaikinya sepulang saya dari Banyuwangi. Saya berkata tidak masalah. Meski di dalam hati agak dongkol juga. Karena tidak punya uang, terpaksa saya menyicil kaos oblong itu.

Sekarang, saya baru merasakan faedah memilki kaos Gandhi tersebut. Meski bersifat simbolik, kaos itu setidaknya menjadi pengingat saya untuk meneladani sifat individual atau menekuri jalan hidup Gandhi yang sangat reflektif itu. Makasih Yok, Trik…

Saya ini sudah kadung menganggap politik adalah sebusuk-busuknya barang dan (atau) perbuatan. Tapi ketika memakai kaos itu, Gandhi dengan suara lembut seolah sedang berbisik pada saya…”tidak Nur, jika kita punya niat tulus, politik tidak lain dari pengabdian manusia kepada manusia lain, dengan segenap jiwa raga, dengan tekad untuk membebaskan sesama kita dari keterpurukan dan kepapaan….”

Read More......

Rabu, Juli 09, 2008

Kelas Pekerja

Merekalah tenaga kerja itu, manusia yang tiada beda dengan benda-benda produksi ciptaannya. Dalam kacamata industri, mereka ini bernilai tidak begitu jauh dari mesin dan modal. Perputaran hidupnya pun simpel. Mereka menjual tenaga untuk memproduksi komoditas (K), lalu mendapat uang (U), dan lantas membeli komoditas lainnya (K).

Pikiran ala Karl Marx tersebut sempat mampir, ketika belakangan, beberapa kawan mengeluhkan aktivitas kerjanya pada saya. Ronggi, salah satunya. Berbulan-bulan ia bekerja sebagai pegawai layanan telepon, di salah satu operator jaringan telepon seluler paling terkenal di negeri ini. Dia tidak betah, tapi tak mampu keluar. Dia sadar ruang kerjanya adalah penjara, namun ia tak bisa begitu saja cabut. Menurut nalar rasionalnya, dan tentu juga saya, tidak punya kerja berarti siklus K-U-K akan terhenti. Bisa buyar semuanya.
Technorati Profile

Gajinya sebetulnya bagus, akunya. Tetapi deskripsi kerja dan lingkungannya amatlah menyiksa. Dia, kadang dengan geram menceritakan kelakuan bos-nya yang jauh lebih peduli pada target. Pada angka beku penjualan, ketimbang relasi kemanusiaan. Kalau perusahaan mengalami penurunan pelanggan, semua pekerja, termasuk penerima telepon dihakimi dengan “kejam”. Untuk pekerja rendahan, evaluasi menjadi judgement day, hari eksekusi. Siapa yang tidak memuaskan akan dibuang ke jalan.

Belum lagi intrik-intrik mengerikan. Saling telikung. Jilat kiri, jilat kanan, manjadi pemandangan saban hari. Cerita-cerita sampah berhamburan di mana-mana. Tiap orang berpotensi menjadi oportunis. Yang dulunya orang baik, tiba-tiba berubah drastis jadi monster menjijikkan saat naik jabatan. Hubungan manusia dalam kantor itu, kata Ronggi, tidak lebih dari hubungan benda-benda. Tidak muncul manusia dalam ruangan megah itu. Yang ada hanyalah robot-robot yang tak lagi punya otoritas.

Belum lagi urusan pelanggan yang menyebalkan. Ratusan pertanyaan yang sama mungkin tidak masalah. Ratusan jawaban yang diulang-ulang, bisa jadi tak soal. Ronggi sadar, kontrak kerja menghendaki demikian.

Tetapi nahasnya, operator telepon sering jadi sasaran makian iseng. Kata-kata kotor mau tidak mau harus diterima dengan sabar dan ikhlas. Sekali emosi meluap, siap-siap saja dipecat. “Telepon para operator selalu disadap penyelia atau manager, saya tahu waktu ada evaluasi”, cerita Ronggi. Meski penyadapan tersebut bersifat acak, ini sudah cukup untuk membuat takut. Hasrat alamiah manusia yang bisa sebel, marah, sedih, ditekan sedemikian rupa. “Bagaimanapun juga Nur, pelanggan adalah raja”, pasrah Ronggi hari itu dalam sambungan telepon.

Sudah banyak korban jatuh. Tubuh ambruk, kesehatan tersungkur ditabrak rutinitas kerja. Salah satu teman Ronggi sampai terkena Vertigo. Sebuah penyakit yang menyerang saraf area kepala. Penyebabnya hampir bisa dipastikan; pemakaian headset berlebihan ditumbuki tumpukan stress yang menggunung.

Banyak orang menganggap vertigo gejala enteng. Tetapi siapa yang tidak terganggu, jika kepala, setiap waktu menerima tamu dengungan keras bertalu-talu. Pada stadium lanjut, penanganan vertigo bahkan harus diselesaikan di meja operasi.

Saya betul-betul tidak menyangka, dibalik suara-suara merdu itu, tersimpan kebekuan hidup yang sungguh akut. Karena bidang kerja itu nyatanya bukan pilihan sadar. Sebagaimana terjadi pada banyak orang di dunia ini.

Meski dengan bidang kerja berbeda, beberapa kawan lain juga pernah mengalami kasus yang identik. Dunia kerja yang harusnya menabalkan eksistensi manusia, malah membuat mereka terasing, tidak hanya dari barang produksinya, tapi juga pada lingkungannya.

*gambar diunduh dari sini

Read More......