Kamis, Mei 29, 2008

Preman Nusantara (2)*

Hingga hari ini, Amangkurat I (1646-1677) terkenal sangat tidak populis. Beberapa pembaca sejarah nusantara, bahkan ada yang mengatakan Raja Mataram itu psikopat.

Coba bayangkan, selama masa pemerintahannya, ribuan orang tewas dibantai. Korban yang jatuh tidak hanya "orang-orang penting" saja. Namun, ia juga membantai keluarga, pengikut serta budak politikus-politikus senior, loyalis ayahnya, sang raja tua, Sultan Agung.

Penggayangan besar-besaran terjadi pada tahun 1648, dua tahun setelah sang Raja naik tahta. Seperti cerita Ong Hok Ham, pada tahun itu ,Amangkurat I membunuh adiknya sendiri. Tidak ketinggalan, anak buah sang saudara juga dienyahkan. Pada saat yang sama, ia juga membunuhi ulama, santri, dan pengikut lainnya.

Korban yang tumbang menurut data yang diperoleh Ong, tidak kurang dari lima sampai enam ribu jiwa. Gilanya, dari tahun 1648 sampai 1677 masih terdapat 14 kali pembunuhan massal, meskipun tidak sebesar tahun 1648 itu.

Di sini mulai tampak peran jago dalam merebut atau menjaga kekuasaan. Pada saat damai, mereka menjadi semacam tukang pukul raja, yang setiap waktu menjaga kedaton ataupun rumah pribadi. Mereka lantas menjadi instrumen utama, ketika terjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan. Jumlah tukang pukul; yang kuat fisik dan sakti, tentunya; mencapai ratusan bahkan ribuan.

Preman tumbuh dengan pesat, karena tidak adanya posisi negara sentralistik sokongan konstitusi yang syah dan mapan. Raja-raja jaman dulu, mencantolkan kekuasaannya murni pada kharisma. Namun aura kharismatik bukan melulu bakat, bawaan lahir atau taken from granted. Ia juga disokong lewat legitimasi kuat dari bawah.

Raja oleh karena itu, adalah super-preman. Memang, mitos-mitos yang terus dihembuskan ke masyarakat luas adalah raja tidak lain merupakan wakil Tuhan di dunia. Ia, dalam bahasa Ong merupakan peneriman wahyu kedaton. Atau banyak sebutan lainnya. Tetapi kalau dilihat dari kacamata politik praktis, tidak bisa dipungkiri kalau kekuatan yang membuat raja begitu kuat adalah banyaknya pendekar yang dia miliki.

Dalam perjalanan waktu, akan kita ketahui bahwa perebutan dan pelanggengan kekuasaan lewat kekerasan kebanyakan tidak berumur panjang. Meski elite lama di bantai. Elite baru dibikin, juga diawasi agar tidak terlalu kuat, namun absolutisme raja tidak bisa begitu saja ditegakkan.

Contohnya kasus Amangkurat I. Terbukti meski dia sudah habis-habisan, akhirnya ia harus tumbang juga. Pemberontakan pangeran Madura Trunojoyo tahun 1676, membuat sang raja harus meninggalkan kerajaan. Raja Mataram itu akhirnya mati di Tegal sebagai pelarian setahun kemudian.

Memasuki jaman kolonial, pertumpahan darah yang melibatkan penguasa sudah turun drastis. Ini disebabkan karena tekanan perjanjian buatan pemerintah Hindia Belanda begitu kuat. Sebetulnya, mutu polisi pada waktu itu sangat rendah. Inilah yang membuat pemerintah Hindia-Belanda menggunakan jasa preman. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menjaga stabilitas. Istilahnya, menangkap maling dengan maling. Dan terbukti cara tersebut sangat efisien.

Ketika konsep penguasa ningrat diganti menjadi konsep pegawai pangreh praja kolonial, tahun 1870-an, peran preman mulai sedikit tereduksi. Mereka tidak lagi difungsikan sebagai tukang pukul an sich, namun menjadi mata-mata (blater atau weri). Meski dalam paktek fungsinya sama saja, sebagai jago.

Saat birokrasi sangat ketat. Hubungan preman dengan pemerintah tidak seharmonis sebelumnya. Benturan dan konflik seringkali terjadi. Persolan tidak lagi diselesaikan lewat adu otot. Tetapi lewat prosedur, lewat undang-undang.

Makanya tidak heran, saat revolusi meletus, banyak anggota laskar-laskar kemerdekaan sejatinya adalah perampok dan maling.

Pemerintah Orde lama pun pada saat tertentu, juga menggunakan jasa jago, bahkan secara terang-terangan. Saya ingat satu tulisan Soe Hok Gie, yang dibuat beberapa waktu setelah peristiwa G 30/S meletus. Saya lupa judulnya apa. Tetapi, saya ingat di situ Gie menceritakan pengangkatan Kolonel Sjafei, “penguasa” daerah Senen sebagai menteri, ketika Indonesia chaos, menjelang Orde Lama runtuh.

Trend seperti itu agaknya berlangsung sampai sekarang. Meski dengan karateristik yang berbeda. Namun, seperti kata Ong, preman tidak akan berkembang tanpa adanya simbiosis mutualisme dengan organisasi kekuasaan resmi.


*Terima kasih atas tulisan alm. Ong Hok Ham yang luar biasa.
Paint by : JM. Basquiat. "early moses". www.bejata.com



Read More......

Rabu, Mei 28, 2008

Preman Nusantara (1)

Seorang aktivis sebuah NGO internasional bertanya pada teman saya.“Seberapa besar pengaruh preman dalam kehidupan ekonomi-politik di Malang ?”. “Oh ya, tentu saja sangat besar”, jawabnya. “Ruangnya merentang, dari penguasaan lahan parkir sampai gedung parlemen. Ronin-ronin itu harus diakui, turut berinvestasi besar dalam tatatan sosial kita”, teman saya melanjutkan.

Namun, ikatan kelompok mereka sekarang sudah agak begeser. Hubungan antar preman sekarang amat cair. Tergantung job dan order. Beda dengan dulu, pola patron-kliennya masih sangat kuat. Sekarang, siapa punya duit, dia bisa mengumpulkan tukang pukul sebanyak-banyaknya. Terang teman saya lagi.

Meski berbeda karakter, harus diakui bahwa gali, bromocorah, blater, weri, brandal, tukang pukul, jagoan, benggolan, nama lain preman di berbagai daerah, merupakan rangkaian tak terpisahkan dalam sejarah politik kekerasan di nusantara ini. Bahkan eksistensi mereka sudah sangat besar sejak masa pra-kolonial, sejak jaman raja-raja purba dulu. Belajar dari sejarah, “organisasi” preman tidak akan hidup, tanpa ada kemesraan hubungan dengan lembaga kekuasaan resmi.

Saya jadi teringat tulisan Ong Hok Ham, berjudul Peran Jago dalam Sejarah di Kompas tanggal 23 April 1983. Artikel itu sendiri, saya baca lewat buku kumpulan tulisannya, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara.

Waktu Ong menulis esai pendek itu, Indonesia sedang geger besar. Pembunuhan sistematis oleh negara terhadap preman atau yang di tuduh preman, sedang marak terjadi. Saya ingat, beberapa tahun lalu ibu saya pernah menyebutnya petrus. Berasal dari dua kata “penembak” dan “misterius”.

Dalam perjalanan waktu, saya baru tahu ternyata ibu tidak menciptakan akronim tersebut. Itu adalah sebutan umum. Bahkan James T. Siegel juga menyebut kata petrus lewat buku terkenalnya, A New Criminal Type in Jakarta. Menurut Profesor Antropolgi asal Cornell University itu, pada tahun-tahun tersebut, banyak sekali ditemukan mayat orang bertato di mana-mana. Koran setiap hari memberitakan penemuan-penemuan itu. Isinya pun seram-seram.

…Sepuluh lubang peluru yang mengoyak habis tubuh korban ternyata bukan rekor…”Kami juga pernah memeriksa ada 12 peluru bersarang ditubuh seorang korban, dengan lima selongsong peluru di kepalanya”…, (Pos Kota 6 Agustus 1983).

Para korban pembunuhan, waktu itu dikenal dengan nama gali,”gabungan anak liar”. Sebagian besar gali adalah penjahat kelas teri dan anggota geng. Menurut Siegel, banyak dari mereka yang bekerja bagi partai plat merah, Golkar, dalam pemilu satu tahun sebelumnya. Mereka kemudian dicampakkan begitu saja, hingga kembali ke kehidupan semula. Yang tidak diungkap waktu itu adalah, siapa kepala galinya? Dan bagaimana hubungan sang pemimpin dengan pemerintah ?.

Hal yang menarik adalah hampir semua korban memiliki tato. Karena berita koran sangat deskriptif, masyarakat lantas mengidentifikasi kalau gali identik dengan orang bertato. Kadar ini semakin meningkat, bahkan sampai pada titik memiliki tato = gali. Nah, karena saking takutnya, orang-orang yang memiliki tato dengan alasan untuk gaya-gaya-an saja, akhirnya berbondong-bondong datang ke kantor polisi untuk minta perlindungan.

(bersambung)..


paint by: jean michel basquiat. www.villagesavant.com.

Read More......

Sabtu, Mei 24, 2008

Walikota Malang; Pemabuk.

Walikota Malang, Peni Suparto ternyata pemabuk berat. Surya yang semakin kayak koran kuning itu, memberitakannya hari ini (23/05). Meski gosip itu sudah saya dengar agak lama, namun baru kali ini saya membacanya di media massa.

Lebih dari dua teman mengatakan, apa yang ditulis Surya vulgar. Urusan mabuk, kata mereka, masih sangat tabu diungkap secara telanjang di Indonesia. Diksi seperti “Peni dan mbah Karno...sebagai kawan lama yang gemar nenggak minuman keras (miras)….”, bagi mereka dianggap kasar. Apalagi ini menyangkut seorang kepala daerah.

Memang susah, jadi pemimpin. Coba kalau Peni residivis. Persoalan enteng seperti itu, pasti tidak berimplikasi apapun. Kalau dilihat dari latar belakangnya, Peni yang “abangan” itu (menurut klasifikasi Clifford Geertz ), sebenarnya amat lumrah bergaul dengan minuman keras. Tapi ya itu tadi, tidak gampang memang menjadi public figure.

Sebagai perbandingan. Presiden Federasi Autosport Internasional (FIA), Max Moesley akhir-akhir ini, mendapatkan kecaman luas, bahkan tuntutan mundur dari sana-sini, karena video sex-nya bocor. Padahal sex, bagi orang Amerika sudah dianggap bukan masalah besar. Kecuali kalau merugikan orang lain. Misalnya kalau diiringi kekerasan, perkosaan atau melibatkan anak di bawah umur.

Sebelum istighosah dwi mingguan malam ini digelar, seorang teman tertawa terbahak-bahak membaca berita ini.
“Masak pemabuk, mau sering mendatangi pengajian-pengajian”, katanya dengan tergelak. Menurutnya, Peni memang berencana akan rutin nyambangi majelis-majelis pengajian, sebagai salah satu bentuk tepe-tepe, sehubungan majunya dia menjadi calon Walikota Malang, periode depan. Saya juga terpingkal. Saya merasa berkewajiban mengapresiasi dagelan.

Jack Daniels by: www.myspace.com

Read More......

Rabu, Mei 21, 2008

Supersemar = SUharto PERsis SEperti MARcos

Lebih tiga tahun lalu, sepintas saya membaca Orde Zonder Order, buku kumpulan tulisan yang membahas praktek kekerasan dan dendam selama Soeharto berkuasa (1965-1998).
Ketika menemukan buku itu kembali, hari ini, di perpustakaan Placid’s Averroes, hati saya sungguh-sungguh bungah.

Saya memang tidak membaca semua karangan di buku editan Frans Husken dan Huub de Jonge tersebut. Namun, saya sungguh terkesan dengan tulisan Jean-Luc Maurer bertajuk “Bermain dengan Kata-Kata ?, Lelucon dan Permainan Kata-Kata sebagai Protes Politik di Indonesia”.

Dalam artikelnya, Profesor Studi Pembangunan dan Politik Asia di Graduate Institute of Development Studies (IUED), Jenewa, Swiss itu, menampilkan banyak bentuk “perlawanan” kata-kata, yang isinya mengejek Soeharto, keluarga dan kroninya. Karena yang diejek adalah penguasa maka guyonannya pun berbau politik. Baik tersurat maupun tersirat. Karena waktu itu Soeharto sangat kuat, tentunya lelucon-lelucon yang bagi saya betul-betul lucu dan kreatif itu, hanya beredar dari mulut ke mulut dan di kalangan tertentu saja. Terutama kelas menengah dan golongan terdidik perkotaan.

Menurut Jean-Luc, semakin represif suatu rezim politik dan hak untuk berbicara semakin dibatasi, maka semakin berkembanglah ejekan-ejekan bawah tanah. Substansi permainanannya berkisar pada cacat, kegagalan, dan kekeliruan pemerintah.

Fakta sejarah mengenai humor kata-kata, di mana-mana menunjukkan hal yang identik. Tidak hanya di Indonesia. Tradisi humor kritik juga pesat di masyarakat Yahudi, saat dan setelah Nazi di puncak. Jumlahnya bahkan mencapai ribuan. Mereka sangat terkenal akan keahlian ini. Lelucon politik juga merambah ke negara-negara bekas komunis otoritarian, seperti Rusia, Republik Ceko, atau Polandia. Yang terakhir ini, malah menganggap lelucon politik layaknya olahraga nasional.

Meminjam terminologi James Scott, praktek-praktek humor politik adalah juga seni perlawananan terhadap dominasi. Sebagai weapon of the weak, senjata orang lemah. Karena bawah tanah, maka makna-makna yang tersimpan dalam transkrip tersembunyi, harus lebih dulu diurai. Dalam konteks ini orang Indonesia yang kreatif-kreatif itu memang jagonya.

Coba saja lihat cerita ini. Seorang lelaki dengan cukup bersemangat bercerita tentang kebijakan Orde Baru di sebuah warung kopi. Ia mengatakan : “Banyak hal baik belakangan dengan pembangunan sekarang ini. Misalnya, kini terdapat cukup banyak dokter gigi yang baik di Indonesia. Namun saya tidak mengerti mengapa semua orang Jakarta yang kaya harus pergi ke Singapura saat memiliki masalah dengan gigi mereka?”. Lelaki yang lain, sedikit lebih skeptis dengan tindakan-tindakan pemerintah manjawab, :”Ya, mudah saja, karena di Jakarta, tidak ada yang berani buka mulut!”…

Lelucon-lelucon seperti di atas sangat banyak dan bertaburan di Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya. Dan tidak hanya masalah pembangunan dan represi politik yang menjadi bahan guyonan. Jean-Luc mencatat, bahwa lelucon-lelucon itu telah merambah ke area keluarga Soeharto dengan sangat sempurna. Contohnya yang ini.

Putri bungsu Soeharto adalah satu-satunya anak Soeharto yang berhasil menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah menengah. Sebagai sarjana IPB, perguruan tinggi yang cukup bergengsi, ia tentu memiliki kadar intelektual lebih daripada kakak-kakak perempuan dan ketiga kakak lelakinya. Tambahan lagi, anak bungsu ini kurang tertarik pada bisnis. Lebih jauh ia seorang pemalu. Hal yang dianggap sebagai kualitas kejawaan. Sebagai mana sebagian besar tanah Austronesia mengenal “budaya malu”.

Suatu ketika Soeharto senang dengan nilai-nilai bagus si bungsu ini, dan mengatakan, “Selamat atas kerja kerasmu. Saya sangat bangga kepadamu. Apa yang kau inginkan sebagai hadiah keberhasilanmu ?”. Ia menjawab, dengan bentuk kesopananan Jawa, “Ah..tidak Pak, terima kasih, saya merasa malu”. Soeharto bersikeras: “ Jangan malu untuk meminta apa saja. Saudara-saudaramu telah mendapatkan banyak dari saya. Kau anak paling pandai dalam keluarga, sekarang giliranmu untuk diberi sesuatu”. Namun ia tetap menjawab:” Tidak, saya malu Pak”. Semakin Soeharto mendesak, semakin ia menjawab:”Malu, Pak. Malu, Pak”. Ibu Tien, yang diam-diam mendengarkan seluruh pembicaraan tersebut, tanpa turut campur sebelumnya, akhirnya menjadi jengkel dan berkata kepadanya :” Berhentilah bersikap konyol !!. Jangan meminta satu-satunya di dunia ini yang tidak dimiliki ayahmu, dan oleh karenanya tidak bisa diberikannya kepadamu !!”.

Selain di atas, banyak humor-humor lain bernada kasar sampai menyerang fisik. Misalnya mendiang ibu Tien yang sering disebut Mrs. Tien Persen (10%), juga di juluki kuda nil karena fisiknya yang gendut. Meski begitu hal itu memiliki makna politis yang dalam. Ini menggambarkan ketidaksukaan sebagian rakyat Indonesia terhadap sosok mantan wanita nomor satu itu, yang sangat tamak dalam berbisnis. Ibu Tien sering disebut sebagai orang paling bertanggungjawab atas gila hartanya anak-anak Soeharto.

Akronim juga menjadi sasaran plesetan. Orang Indonesia, bagi Jean-Luc telah mengembangkan serangkaian humor canggih lewat salah satu ciri khas kebahasaan bangsa ini.

Lihat saja bagaimana Supersemar di plesetkan menjadi dua versi. SUdah PERsis SEperti MARcos dan Suharto Persis SEperti Marcos. RCTI juga memiliki dua versi di antaranya, Raja Cendana Tipu Indonesia, dan ehm..ini lebih sadis, Raja Cendana Turunan Iblis. Produk Jepang juga tidak luput dari incaran. TOSHIBA diartikan sebagai TOmmy-S(H)Igit-BAmbang.

Menteri-menteri, rekan-rekan bisnis Tionghoa, bahkan Parpol juga bisa dipermainkan lewat kata-kata. Harmoko artinya HARi-Hari Omong KOsong. BCA katanya Bank China Asli. PPP menjadi Putra-Putri Presiden.

Selain yang politis, ada juga yang seronok. Seperti merek rokok ARDATH yang dipanjangkan menjadi Aku Rela Ditiduri Asal Tidak Hamil. Ini lebih eksplisit, KOPAJA menjadi KOntol PAnjang JAya. Yang ini muncul pada tahun-tahun 2000-an semisal GARUDA yang memilki kepanjangan dalam dua versi bahasa Inggris, pertama “Go And Rest Until Delay Announced” (Pergi dan beristirahatlah hingga penundaan di umumkan). Dan “Good And Realible Under Dutch Adminstration” (Lebih baik dan dapat diandalkan di bawah pemerintahan Belanda). Satire dan nakal.

Mengingat Soeharto sering menggunakan kekerasan fisik, hingga burujung pada penculikan jika protes aktivis terlampau keras, seperti peristiwa Malari 1974 atau Tanjung Priok 1984. Penggunaan otak-atik kata yang merupakan senjata simbolik, penting bagi mereka yang selama lebih dari 30 tahun berada dalam posisi lemah dan dilemahkan.

*Caricature by : Time Magazine (1997)

Read More......

Selasa, Mei 20, 2008

Cina-Indonesia

...dengan geram Ong Hok Ham pernah berujar bahwa obsesi elite Indonesia yang bersumber pada hajat kekuasaan, jabatan dan status, segila obsesi orang Cina terhadap uang...

“Tanah kita sudah dikuasai Cina. Air kita diembat pejabat”. Saya terhenyak dengan reportoar penyanyi jalanan tersebut. Bukan karena dalam forum diskusi di Perpustakaan Kota Malang malam itu banyak dihadiri orang. Bukan pula, karena acara tersebut disiarkan langsung oleh RRI. Tetapi karena sebutan bernada tembak langsung buat etnis tertentu, pertama kali saya dengar dalam pertemuan publik.

17.000 lebih pulau milik Indonesia, memang menjadikan negeri ini sangat beragam dan berwarna. Belum lagi ditambah golongan “pendatang” dari daratan Asia Timur Jauh, Timur Tengah bahkan Eropa. Puluhan kali kiranya saya dengar anekdot serta guyonan menunjuk ras tertentu di ruang privat-informal. Tetapi jika itu hadir diruang publik, dengan nada serius pula, saya sungguh kaget. Hanya kaget. Tidak membenarkan, tidak menyalahkan.

Bagaimanapun juga, penyanyi jalanan tersebut, mengalami realitasnya sendiri yang khas. Membikinnya menarik kesimpulan atas apa yang ia lihat, dengar dan rasakan. Sama seperti gugatan mata kanak-kanak saya dulu, ketika banyak orang etnis Cina dikampung, bergelimang harta, karena menguasai hampir semua faktor produksi. Dari toko besar sampai tempat penggilingan padi raksasa. Sedangkan penduduk “asli”, sebagian besar, hidup dalam detak jantung kemiskinan.

Saya tidak tahu pasti mengapa sebagian besar warga keturunan Cina memilih berwiraswasta sebagai pilihan pekerjaan. Namun, dari cerita
beberapa kawan, saya angkat topi pada keuletan, etos kerja tinggi dan semangat pantang menyerah yang mereka miliki.

Layaknya kaum minoritas, etnis Cina di Indonesia juga mendapat citra jelek jika sedikit dari mereka berperilaku negatif. Keturunan Yahudi, Italia (Sissilia) atau Irlandia di Amerika, juga mengalami hal serupa. Dari pemberitaan media serta hasil-hasil penelitan dalam dan luar negeri kita bisa membaca bagaimana perangai buruk pengusaha papan atas, semasa orde baru sampai sekarang. Liem Sioe Liong, Bob Hasan atau Tommy Winata, ditulis kerap melakukan perselingkuhan dengan pemerintah serta menghalalkan berbagai macam cara untuk memuluskan bisnisnya.

Tidak saja bidang usaha yang terang tapi juga yang remang-remang, seperti judi, pelacuran dan narkotika. Jangankan mengusut, menindak lalu menangkap. Tentara dan polisi malah menjadi anjing penjaga yang setia bagi kantong-kantong bisnis itu. Kalaupun ada yang kebetulan kepergok, seringkali kasusnya dipeti-eskan.

Dengan geram Ong Hok Ham pernah berujar bahwa obsesi elite Indonesia yang bersumber pada hajat kekuasaan, jabatan dan status, segila obsesi orang Cina terhadap uang.

Saya pernah membaca Tjamboek Berdoeri, tentang pembunuhan besar-besaran orang Cina di Jawa. Sungguh miris dan merobek-robek jiwa. Juga Pram, yang menulis pengusiran besar-besaran banyak orang Cina pada tahun 1950-an dalam “Hoakiau di Indonesia”. Dari Pram saya ambil kesimpulan bahwa kemajemukan bukanlah anugerah. Kadang malah menjadi komoditas politik.

Teman sedaerah di kost bahkan menilai bahwa keturunan Cina bukanlah orang pribumi. Seperti kata Hoakiau, yang berarti perantauan, mereka tidak benar-benar meng-Indonesia. Padahal kebencian teman saya itu tadi, yang mengeras bagai batu, hanya dipicu oleh soal sepele. Problem pribadi. Masalah memori anak-anak dan dipupuk oleh kata-kata ayahnya, yang juga pernah disakiti oleh orang Cina. Soalnya kemudian bukan pada si Aliong dan si A Ling, namun merantak ke semua orang Cina. Muaranya pada tuduhan bahwa orang Cina adalah penyerobot harta orang-orang Jawa, penjajah, maling, sok elite, dst..dst..

Sekolahan di kampung saya, juga menegaskan hal itu. Saya ingat, untuk mencontohkan definisi akulturasi dan asimilasi dalam pelajaran ilmu sosial, guru saya selalu merujuk pada orang Cina-Indonesia. “Mereka adalah contoh golongan yang tidak bisa melakukan asimilasi”, begitu kira-kira kata guru saya.

Padahal kalau merujuk Pram. Diruntut dari rentang sejarahnya, orang Cina di Indonesia, sudah berabad-abad hidup di Nusantara ini. Mereka makan, minum, hidup dan mati di sini. Mereka sudah sama tuanya dengan nenek moyang kita. Bahwa ada dari mereka yang bajingan, orang “lokal” juga banyak yang begitu. Peran beberapa orang Cina dalam berbagai bidang di Republik muda ini, sebetulnya juga sangat besar. Namun seringkali tertutup oleh prasangka dan stigma.

Soalnya kemudian bukan pada orang per-orang namun pada struktur yang melingkupinya. Kalau bajingan-bajingan Cina sekarang berlaku buruk, terutama di bidang perekonomian-perdagangan. Kita juga harus melihat dengan jeli bahwa budaya feodalistik dan paternalistik, yang setia menggelayuti alam pikir birokrasi negara ini, sebenarnya akar yang patut disalahkan dan kudu dirombak total. Karena birokrasi yang korup, akan selalu setia membuka berbagai bentuk penyimpangan.

*
Semalam saya nonton Calling Indonesia di TVRI. Bersama-sama dengan pelaut-pelaut India, Selandia baru dan Philipina, yang bekerja di Australia, juga orang Australia sendiri, pelaut-pelaut Cina mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Belanda yang coba memboncengi sekutu, ketika perang pasifik hampir tuntas sepenuhnya, mereka tolak habis sebagai bentuk pelanggengan imprealisme.

Selain melakukan rally-rally, pertemuan-pertemuan dan kampanye. Mereka bahkan melakukan langkah sangat berani. Pelaut India mogok, tidak mau melayarkan kapal yang mengangkut senjata api dari Australia menuju Indonesia. Pelaut Cina tidak mau kalah. Mereka mempelopori aksi pengumpulan uang solidaritas di kalangan mereka sendiri. Total 1100 poundsterling terkumpul, murni dari kocek pribadi. Jumlah yang sangat besar waktu itu.

“Pemimpin kami Dr. Sun berkata, penidasan satu bangsa terhadap bangsa lain, harus tumpas dari bumi ini. Perjuangan Indonesia adalah perjuangan kami. Kemenangan Indonesia adalah kemenangan kami”, pekik mereka, disambut tepukan meriah ratusan orang, yang kurang lebih terdiri dari 5 bangsa itu.

Read More......