Rabu, Juli 09, 2008

Kelas Pekerja

Merekalah tenaga kerja itu, manusia yang tiada beda dengan benda-benda produksi ciptaannya. Dalam kacamata industri, mereka ini bernilai tidak begitu jauh dari mesin dan modal. Perputaran hidupnya pun simpel. Mereka menjual tenaga untuk memproduksi komoditas (K), lalu mendapat uang (U), dan lantas membeli komoditas lainnya (K).

Pikiran ala Karl Marx tersebut sempat mampir, ketika belakangan, beberapa kawan mengeluhkan aktivitas kerjanya pada saya. Ronggi, salah satunya. Berbulan-bulan ia bekerja sebagai pegawai layanan telepon, di salah satu operator jaringan telepon seluler paling terkenal di negeri ini. Dia tidak betah, tapi tak mampu keluar. Dia sadar ruang kerjanya adalah penjara, namun ia tak bisa begitu saja cabut. Menurut nalar rasionalnya, dan tentu juga saya, tidak punya kerja berarti siklus K-U-K akan terhenti. Bisa buyar semuanya.
Technorati Profile

Gajinya sebetulnya bagus, akunya. Tetapi deskripsi kerja dan lingkungannya amatlah menyiksa. Dia, kadang dengan geram menceritakan kelakuan bos-nya yang jauh lebih peduli pada target. Pada angka beku penjualan, ketimbang relasi kemanusiaan. Kalau perusahaan mengalami penurunan pelanggan, semua pekerja, termasuk penerima telepon dihakimi dengan “kejam”. Untuk pekerja rendahan, evaluasi menjadi judgement day, hari eksekusi. Siapa yang tidak memuaskan akan dibuang ke jalan.

Belum lagi intrik-intrik mengerikan. Saling telikung. Jilat kiri, jilat kanan, manjadi pemandangan saban hari. Cerita-cerita sampah berhamburan di mana-mana. Tiap orang berpotensi menjadi oportunis. Yang dulunya orang baik, tiba-tiba berubah drastis jadi monster menjijikkan saat naik jabatan. Hubungan manusia dalam kantor itu, kata Ronggi, tidak lebih dari hubungan benda-benda. Tidak muncul manusia dalam ruangan megah itu. Yang ada hanyalah robot-robot yang tak lagi punya otoritas.

Belum lagi urusan pelanggan yang menyebalkan. Ratusan pertanyaan yang sama mungkin tidak masalah. Ratusan jawaban yang diulang-ulang, bisa jadi tak soal. Ronggi sadar, kontrak kerja menghendaki demikian.

Tetapi nahasnya, operator telepon sering jadi sasaran makian iseng. Kata-kata kotor mau tidak mau harus diterima dengan sabar dan ikhlas. Sekali emosi meluap, siap-siap saja dipecat. “Telepon para operator selalu disadap penyelia atau manager, saya tahu waktu ada evaluasi”, cerita Ronggi. Meski penyadapan tersebut bersifat acak, ini sudah cukup untuk membuat takut. Hasrat alamiah manusia yang bisa sebel, marah, sedih, ditekan sedemikian rupa. “Bagaimanapun juga Nur, pelanggan adalah raja”, pasrah Ronggi hari itu dalam sambungan telepon.

Sudah banyak korban jatuh. Tubuh ambruk, kesehatan tersungkur ditabrak rutinitas kerja. Salah satu teman Ronggi sampai terkena Vertigo. Sebuah penyakit yang menyerang saraf area kepala. Penyebabnya hampir bisa dipastikan; pemakaian headset berlebihan ditumbuki tumpukan stress yang menggunung.

Banyak orang menganggap vertigo gejala enteng. Tetapi siapa yang tidak terganggu, jika kepala, setiap waktu menerima tamu dengungan keras bertalu-talu. Pada stadium lanjut, penanganan vertigo bahkan harus diselesaikan di meja operasi.

Saya betul-betul tidak menyangka, dibalik suara-suara merdu itu, tersimpan kebekuan hidup yang sungguh akut. Karena bidang kerja itu nyatanya bukan pilihan sadar. Sebagaimana terjadi pada banyak orang di dunia ini.

Meski dengan bidang kerja berbeda, beberapa kawan lain juga pernah mengalami kasus yang identik. Dunia kerja yang harusnya menabalkan eksistensi manusia, malah membuat mereka terasing, tidak hanya dari barang produksinya, tapi juga pada lingkungannya.

*gambar diunduh dari sini

6 komentar:

Fairouz Huda mengatakan...

Manusia saat ini memang sudah menuhankan mesin produksi (tekhnologi), sehingga anugrah tuhan yang berupa rasio hampir tak terfungsikan dengan maksimal. Maka, bisa dibenarkan ketika manusia zaman ini tak ubahnya robot-robot yang sering kali diperlombakan kecanggihannya. Adapun pemegang remot dari robot tersebut adalah yang berkuasa (pemilik robot).
begitupun dengan manusia. Manusia saat ini banyak yang dikendalikan oleh penguasa(pejabat dan pemodal). bukan hanya diruang kerja,di dalam rumah pun kehidupan kita dikendalikan oleh teknologi (media massa). Disitulah Hiper realitas beroprasi.

Antown mengatakan...

Indonesia, kaya dengan manusia yang terlunta-lunta. Manusia berlomba mengumpulkan kekayaan untuk masa depan. Bagaimana dengan nasib karyawan? kaum buruh dan mereka yang termarginalkan; sementara sistem yang mereka rasakan setiap harinya adalah sistem penindasan.
Hmmm, tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan untuk melakukan perubahan.

Dari awal, dari diri kita sendiri mungkin. Kita butuh sebuah keyakinan. Yakin bahwa perubahan akan terjadi. Entah kapan (dengan tanda tanya besar).

Salam pergerakan!!
salam kenal...

Anonim mengatakan...

#to fairouz : kalau kita mau, sebetulnya kita bisa membalikkannya. Sifat kuasa yang halus, diskursif dan partikular malah lebih berbahaya ketimbang kuasa yang absolut rouz. waspadalah..waspadalah..

#to antown : tetapi kita tidak bisa terus-menerus menunggu perubahan terjadi, seolah itu datang dengan sendiri-nya town. perubahan tidak akan menghampiri serta-merta,layaknya kita menunggu mentari. butuh kerja keras dan tekad yang besar untuk membuat kita, masyarakat bahkan dunia menjadi lebih baik.

best scholarship information mengatakan...

artikel yang sangat membuka pengertian.. terima kasih akang...

physics engineering scholarships mengatakan...

thanks for share.... keep posting bro... :)

BENUAPKR mengatakan...

YUK JOIN SITUS POKER ONLINE AMAN DAN TERPERCAYA WWW.DKIPOKER.COM BURUAN GABUNG...