Selasa, Agustus 05, 2008

Namanya Parasailing

Pada saat ketakutan itu menghampiri. Pilihannya hanya dua, lari menghindar atau berani menghadapi. Kalau sudah bertahun-tahun menghindar, tentu ada kalanya kita berujar “okelah, akan kutantang kau hari ini”. Tentu ini amat tidak mudah. Setidaknya bagi saya.

Namanya Parasailing. Pasti saya akan terus mengingat nama tersebut. Saya yang sangat takut ketinggian ini, merasa plong, lega dan tidak percaya telah berhasil menaklukkan phobia itu.

Ketika mengunjungi Mirah Fantasia (MF), salah satu objek wisata bahari di kampung halaman saya, Banyuwangi, tidak terbesit sedikitpun untuk ber-parasailing ria. Ima, salah satu adik perempuan saya mengajak jalan-jalan ke MF, karena pertama, hari itu weekend, dan kedua tempat itu belum pernah kami kunjungi.

Ima sendiri hanya pernah lewat sekilas di depan pintu gerbang MF, dan mendengar cerita dari seorang kawannya bahwa tempat itu menyediakan permainan-permainan air yang mengasyikkan. Siapa yang bisa menolak banana boat, jet ski, atau kano. Jujur saja saya ngiler. Dan dengan sepeda motor berkecepatan penuh, sampailah kami di lokasi.

Ada tiga pintu masuk yang ditawarkan MF. Pertama taman burung. Tiketnya 10 ribu rupiah. Saya sama sekali tidak berminat. Untuk apa melihat burung, wong niat awalnya ingin merasai air laut. Pintu kedua menuju pantai. Harga masuk 5 ribu saja. Nah ini tujuan saya.

Pintu ketiga ke arena waterboom, “nama resmi” bagi kolam renang yang menyediakan papan seluncur tinggi, panjang berkelok-kelok. Saya suka berenang, tapi kalau disuruh membayar 30 ribu sekali masuk, saya tidak butuh mikir untuk mengatakan no way.

Ada banyak tempat di Banyuwangi yang menyediakan tempat renang murah. Taman Suruh, misalnya. Untuk masuk dan berenang sampai teler di pemandian itu, kita hanya harus merogoh kocek 6 ribu saja. Desa Wisata Using lebih miring lagi, kalau hari biasa besar upetinya hanya 3 ribu rupiah.

*
Pantai MF memang indah. Airnya berwarna biru jernih. Menyenangkan sekali melihatnya. Tapi ampun kotor banget. Sampah beserakan di mana-mana. Untuk sampai ke pantainya, kita bahkan harus melewati sungai air payau yang dasarnya tidak kokoh, karena permukaannya terdiri dari gambut. Kalau salah tumpuan, kaki bisa terperosok masuk. Tidak berbahaya memang, namun eman saja kalau celana yang sudah dilinting mendekati lulut menjadi basah.

Belum lagi karang tajam banyak berserakan di sekitar sungai. Ceroboh sedikit saja, telapak kaki bisa tergores.

Karena di awal sudah punya niat besar untuk melihat pantai, sungai payau tersebut tidak menjadi masalah bagi kami.

Siang itu MF sepi sekali. Hanya Ima dan saya saja yang ada di situ. Pantai serasa milik kami berdua. Sebelumnya memang ada pegawai MF mendekati kami, menawarkan berbagai macam permainan air. Kami tolak. Alasannya ingin jalan-jalan lihat pantai saja.

Hampir satu jam kemudian, ibu, beserta bude dan Nisa, gadis kecil tujuh tahunan itu menyusul kami. Anehnya, pantai yang sepi, sontak ramai, karena ada rombongan turis lokal dari luar kota. Suasana yang muram menjadi menyenangkan.

Di sinilah awalnya. Ima yang pertama tertarik menerima ajakan sang pagawai untuk mencoba parasailing. Melihat foto-fotonya saja, saya sudah gentar. Ibu tahu kekhawatiran saya. Makanya ketika pegawai dengan aksen Bali itu menawari saya, Ibu spontan menjawab tidak. Namun entah karena apa saya malah mengiyakan. Sudahlah apapun konsekuensinya, akan saya hadapi.

Betul saja, mata serasa berkunang. Kepala pening. Instruksi kru tentang cara dan mekanisme permainan sama sekali tidak nyantol di otak. Kami yang harusnya menjajal pertama, dengan sukarela dan senang hati mengalihkan pada empat lelaki dari rombongan itu. Harapannya, untuk melihat dulu bagaimana permainan ini digelar.

Alasan sebetulnya, ingin menelisik bagaimana raut muka dan ekspresi orang-orangnya, sebelum, pada saat di ketinggian dan sesaat setelah pendaratan. Tapi itu tidak membantu. Hati saya semakin kencang berdetak. Sampai kedengaran di kuping rasanya. Keringat mengucur di mana-mana.

Waktu cepat sekali berlalu. Saya di panggil, tapi cepat saya lukir ke Ima. Jerit pilu Ima dengan menyebut nama “ibu..ibu..” ketika berada diketinggian, memperparah keadaan saya. Ima turun sudah. Sekarang saya.

Sebelumnya, ada sepasang sarung tangan yang harus dipakai. Biru di tangan sebelah kanan, merah yang kiri. Ketika memakainya, saya sama sekali tidak konsentrasi. Tangan mendadak bergetar, tapi sarung tangan sudah terpasang meski dengan susah payah. Panggilan salah satu kru mengagetkan saya. Keringat kembali mengucur. Saya hampir membatalkan niat, namun Ibu sedikit memberi semangat.

Dua orang memasang tali temali dan pelampung dengan sangat cekatan. Raungan mesin boat seakan tidak sabar dan tanpa belas kasihan menarik tubuh manusia yang rentan ini. Dengan sentakan kecil, melayanglah saya. Awalnya memang berat. Proses naik di sekitar 10 meter awal membuat jantung saya seolah copot. Tapi setelah itu, kengerian agak berkurang. Perasaan diri waktu di puncak ketinggian (panjang tali 140 meter) sungguh campur aduk. Saya berdoa saja. Kadang di dalam hati, seringnya teriak tertahan.

Pemandangan di bawah sebetulnya sangat indah. Tapi saya tidak bisa menikmati. Angin yang tiba-tiba mengeras, membuat ketakutan yang sempat hilang muncul lagi. Payung mendapatkan getaran, dan itu cukup membuat ketar-ketir. Posisi ketika parasailing agak aneh. Boat berjalan kecang dan berputar-putar tetapi rasanya posisi saya di atas sini tidak berubah.

Di ketinggian, saya sebagai manusia sungguh merasa kecil. Bagai titik tak berarti di antara panggung dunia ini.

Setelah beberapa saat, (yang bagi saya amat lama itu) boat menghentikan lajunya. Kru di bawah mengangkat bendera biru, tanda agar saya menarik tali sebelah kanan, sesuai dengan warna sarung tangan. Pendaratan tidak mulus. Sempat saya terjatuh, membikin telapak kaki nyeri sampai beberapa hari.

Namun secara keseluruhan, tak habis saya bersyukur telah peroleh kesempatan ini. Suatu saat nanti saya ingin mencobanya lagi.

13 komentar:

Anonim mengatakan...

Waah...

enaknya yang akhirnya bisa mencoba parasailing... Saya dari ulu pengen tapi ga ada kesempatan...

Btw mas dari Malang ato Banyuwangi nih yang bener? Saya orang Malang lho... Horas! *lho?*

Anonim mengatakan...

Nunur... Ya ampun ke mana aja, rumah banyuwangi baru parasailing skrg? Itu maenanku smp nuur... *arogan mode ON*
sekali doang sih, darmawisata wajib sekolahan ke bali...
hihihi

Anonim mengatakan...

woooww...

saya takut dengan ketinggian yang over.

Fahmi FR mengatakan...

ada yg bilang, keberanian itu ada 2 jenis. pertama, berani karena seseorang telah mengetahui apa yg akan dia hadapi. kedua, berani karena seseorang tidak tau sama sekali apa yg akan dihadapi. mungkin ini yg disebut dengan nekat. nah, aksi ber-parasailing-ria kemaren itu masuk keberanian jenis yg mana? hehe...

Anonim mengatakan...

# to wisesasekai : Horas juga :), cobalah, dijamin akan ketagihan. kampung halaman saya Bwi tapi sekarang hidup di Malang. Wah kita se-daerah dong ?

# to nish : Maenan SMP ya...hahaha, aku mah udah maenan cewek nish klo umur segitu :D.

# to banglul : Klo liat emang kelihatannya menakutkan. tapi klo dicoba...ruarr biasa.

# to Fahmi FR : Klo aku mungkin irisannya mas. Tahu apa yang akan dihadapai dan tetap aja nekat. padahal aku naik komidi putar aja lho udah separoh mati takut-nya.:D

donlenon mengatakan...

good for you ding! berani mencoba hal yang menantang, terutama di ranah hal positif merupakan suatu.. ehm.. hal yang positif. (sori kalo berbelit)

Antown mengatakan...

saya pingin nyoba, mas. Tapi sebenarnya lebih pingin lagi terjun payung. Mungkin pilihan kedua ini akan sirna. gimana tidak, setelah diterjunkan saya mungkin tidak akan turun tapi malah lebih naik karena tertiup angin. fiyuhh..

Gaya tulisannya mantap. Saya pingin belajar sama sampean hehehe. Tapi kayaknya ada yang salah ketik nih, bolh ya ngingetin dikit. kalo saya saalh tolong diingatkan juga.

Pada paragraf 5 tertulis "Seharusnya Saya sama sekali berminat". Kayaknya yang benar "Seharusnya Saya sama sekali tidak berminat". betul nggak mas? ah mungkin saya aja yang sok teliti hehehe...

Balik lagi ke topik, saya pernah ke wisata Banyuwangi, dekat pantai Bali juga. Tapi kok nggak liat wisata ini ya?

Anonim mengatakan...

wah ternyata banyak juga objek wisata yang sebenere juga belum dimaksimalkan kemasannya. coba untuk konsumsi internasional, pasti daerah itu sedikit banyak kelimpahan rejeki

Ainur Rohman mengatakan...

# to donlenon : klo kamu pulang,dan berminat menjajal, bolehlah nanti aku ditraktir main. :D

# to Antown : hahaha, bisa aja. Terjun payung keliatannya asyik tuh.

Ton, setelah mbaca tulisan mu malah aku yang banyak belajar. Ini serius lho. Terutama dalam hal presisi kalimat.

Terima kasih kamu teliti sekali. Sudah aku perbaiki sekarang.

MF ini agak mejorok ke dalam jadi agak susah nemuinnya. karena gak eye catching. Saya saja yang asli BWI baru pertama kali ke sana. Btw, pantai di BWI itu banyak, Ton. Jadi pantai yang mana dulu nih ?.

nb: jangan panggil mas, ah. risih aku :D. Kita khan seumuran. panggil nur saja ya..tq.

# to Rum Muhammad: betul sekali mas. Bwi memang agak kacau. Jargonnya saja, "menerima limpahan turis asing dari Bali". Dan tidak berusaha menggaet turis dengan mandiri.

Anonim mengatakan...

wahhhh asik yee mas "ruar biasa ???"

coba ahh kalo ada waktu dan kesempatan ;)

Ainur Rohman mengatakan...

# to banglul : ditunggu ceritanya kalo sempat nyoba dech...

Anonim mengatakan...

rame.... tapi tantangan terbesar adalah pas turun... bingung gimana berentinya
heuheuhe

Ainur Rohman mengatakan...

berhentinya malah mudah chank. boat berhenti kita langsung turun deh. dijamin...:D