Senin, Agustus 11, 2008

May The Force (Horse) Be With You !

Lebih seminggu lalu di Malang, untuk kedua kalinya saya menonton pentas musik Soundrenaline. Kalau dulu, empat tahun lampau, pergelaran itu terhelat di lapangan luar stadion Gajayana. Tahun ini, acara musik yang diklaim terbesar seantero negeri tersebut, berada di lapangan Rampal.

Nurur, teman saya, memprediksi ada tidak kurang 30 ribu orang yang menyemut di tanah lapang, tempat langganan tentara berlatih fisik itu. Koran lokal mengira-ngira 50 ribu manusia. Pihak penyelenggara yakin, total penonton mencapai 80 ribu kepala. Entah mana yang paling tepat.

Saya sendiri merekam banyak cerita remeh temeh. Namun, tentunya tidak “seheboh” di tahun 2004. Ketika itu, ribuan orang dikejutkan oleh tewasnya satu orang penonton, akibat hubungan arus pendek listrik. Masih segar dalam ingatan, dentum ledakan itu sungguh menggelegar. Awalnya saya mengira suara itu berasal dari perangkat sound system yang konslet. Maklum, sore itu hujan cukup deras mengucur. Sungguh mengerikan. Beberapa pengisi acara terpaksa undur diri.

Di koran esok paginya saya membaca; penonton itu tersengat aliran listrik karena menginjak kabel “telanjang” yang melintang tidak jauh dari panggung.

Tahun ini bagi saya biasa saja. Bahkan bisa dibilang mengecewakan, jika mengacu pada kacau balaunya jadwal acara. Beberapa penyanyi yang tidak ada dalam list, tiba-tiba hadir dipanggung. Juga sebaliknya, beberapa artis yang masuk daftar tiba-tiba menghilang begitu saja. Ini belum lagi ditambah dengan tidak sinkronnya artis dan panggung.

Ada tiga panggung di sana. Dua terbesar untuk artis-artis terkenal. Sisanya agak kecil, “Talent Stage” namanya. Yang terkahir ini disediakan untuk penyanyi yang tidak terlampau tersorot media mainstream. Misalnya Burgerkill. Sayang The Adams tidak jadi tampil. Padahal mereka salah satu yang sangat ingin saya saksikan di Soundrenaline tahun ini.

Nah, yang bermasalah ialah agenda di dua yang terbesar itu. Contohnya begini, di jadwal, J-Rock harusnya tanpil di panggung A, eh tahunya malah di B. Belum lagi problem waktu. Penyanyi X tertulis pukul 4 sore, malah nyatanya manggung jam 6 sore. Ini tidak satu-dua artis, tetapi hampir semuanya. Ini diperparah dengan tidak seragamnya jadwal di web resmi dan booklet yang dibagikan.

Sungguh tidak profesional. Kita, penonton, seolah tidak punya otoritas mengetahui apa yang terjadi sebetulnya. Jika semisal salah satu penampil tidak bisa hadir, harusnya panitia memberi pangumuman, dan merilis jadwal baru.

Saya sungguh kecewa, karena harus pontang-panting menentukan pilihan tontonan. Soal memilih ini pun hanya bisa sampai sore saja. Selepas itu, saya tidak bisa pindah-pindah lagi karena padatnya lautan manusia.

Lepas dari rangkaian kejengkelan itu, ada juga yang menyenangkan. Tepatnya hal yang tak disangka-sangka.

Kaos saya ada yang menyamai !. Saya benar-benar tidak mengira ada juga yang menyablon gambar dan tulisan May The Horse be With You dikaosnya. Meski sama-sama berwarna hitam, menurut saya desain kaos orang itu lebih baik. Beda dengan saya, orang itu memberi sentuhan merah menyala. Gambarnya pun jauh lebih besar. Bukan di dada saja numun melebar hingga perut. Kombinasi yang pas.




Jujur, desain kaos itu cukup nakal. Bahkan mungkin agak jorok. Tapi dari beberapa orang yang berkomentar pada kaos itu, rata-rata mengatakan lucu.

Apalagi kalau tahu atau mendengar, bahwa tulisan itu merupakan pelesetan dari salam yang biasa diucapkan ksatria jedi di film Star Wars, minimal mereka akan tersenyum. Horse dalam May The Horse Be With You, sebetulnya adalah kata Force. Jadi salam (kebanyakan perpisahan) yang diucapkan Luke Skywalker, dkk itu adalah May The Force Be With You.

Dua orang berperan pada kelahrian kaos yang dibikin tahun 2003 itu. Pertama Helvin. Entah dimana sekarang, kakak kelas 5 tingkat dari saya itu berada. Terakhir saya dengar, ia bekerja untuk salah satu televisi nasional. Tapi ada kawan yang mengatakan dia telah hengkang. Entahlah. Helvin yang mencari desain. Dan ia cukup PD kalau tidak bakal ada yang menyamai pemakaian desain itu di kaos oblong. Waktu itu saya sepakat.

Sedang yang mencetak adalah Aris, kakak tingat 2 tahun di atas saya. Ia sekarang menjadi jurnalis, di koran lokal terbesar di Jawa Timur.

Bertahun-tahun saya merasa seperti apa yang Helvin katakan. Tetapi siang itu rasa tersebut runtuh sudah. Mendapatkan surprise seperti ini kadang cukup menyenangkan.

Read More......

Selasa, Agustus 05, 2008

Namanya Parasailing

Pada saat ketakutan itu menghampiri. Pilihannya hanya dua, lari menghindar atau berani menghadapi. Kalau sudah bertahun-tahun menghindar, tentu ada kalanya kita berujar “okelah, akan kutantang kau hari ini”. Tentu ini amat tidak mudah. Setidaknya bagi saya.

Namanya Parasailing. Pasti saya akan terus mengingat nama tersebut. Saya yang sangat takut ketinggian ini, merasa plong, lega dan tidak percaya telah berhasil menaklukkan phobia itu.

Ketika mengunjungi Mirah Fantasia (MF), salah satu objek wisata bahari di kampung halaman saya, Banyuwangi, tidak terbesit sedikitpun untuk ber-parasailing ria. Ima, salah satu adik perempuan saya mengajak jalan-jalan ke MF, karena pertama, hari itu weekend, dan kedua tempat itu belum pernah kami kunjungi.

Ima sendiri hanya pernah lewat sekilas di depan pintu gerbang MF, dan mendengar cerita dari seorang kawannya bahwa tempat itu menyediakan permainan-permainan air yang mengasyikkan. Siapa yang bisa menolak banana boat, jet ski, atau kano. Jujur saja saya ngiler. Dan dengan sepeda motor berkecepatan penuh, sampailah kami di lokasi.

Ada tiga pintu masuk yang ditawarkan MF. Pertama taman burung. Tiketnya 10 ribu rupiah. Saya sama sekali tidak berminat. Untuk apa melihat burung, wong niat awalnya ingin merasai air laut. Pintu kedua menuju pantai. Harga masuk 5 ribu saja. Nah ini tujuan saya.

Pintu ketiga ke arena waterboom, “nama resmi” bagi kolam renang yang menyediakan papan seluncur tinggi, panjang berkelok-kelok. Saya suka berenang, tapi kalau disuruh membayar 30 ribu sekali masuk, saya tidak butuh mikir untuk mengatakan no way.

Ada banyak tempat di Banyuwangi yang menyediakan tempat renang murah. Taman Suruh, misalnya. Untuk masuk dan berenang sampai teler di pemandian itu, kita hanya harus merogoh kocek 6 ribu saja. Desa Wisata Using lebih miring lagi, kalau hari biasa besar upetinya hanya 3 ribu rupiah.

*
Pantai MF memang indah. Airnya berwarna biru jernih. Menyenangkan sekali melihatnya. Tapi ampun kotor banget. Sampah beserakan di mana-mana. Untuk sampai ke pantainya, kita bahkan harus melewati sungai air payau yang dasarnya tidak kokoh, karena permukaannya terdiri dari gambut. Kalau salah tumpuan, kaki bisa terperosok masuk. Tidak berbahaya memang, namun eman saja kalau celana yang sudah dilinting mendekati lulut menjadi basah.

Belum lagi karang tajam banyak berserakan di sekitar sungai. Ceroboh sedikit saja, telapak kaki bisa tergores.

Karena di awal sudah punya niat besar untuk melihat pantai, sungai payau tersebut tidak menjadi masalah bagi kami.

Siang itu MF sepi sekali. Hanya Ima dan saya saja yang ada di situ. Pantai serasa milik kami berdua. Sebelumnya memang ada pegawai MF mendekati kami, menawarkan berbagai macam permainan air. Kami tolak. Alasannya ingin jalan-jalan lihat pantai saja.

Hampir satu jam kemudian, ibu, beserta bude dan Nisa, gadis kecil tujuh tahunan itu menyusul kami. Anehnya, pantai yang sepi, sontak ramai, karena ada rombongan turis lokal dari luar kota. Suasana yang muram menjadi menyenangkan.

Di sinilah awalnya. Ima yang pertama tertarik menerima ajakan sang pagawai untuk mencoba parasailing. Melihat foto-fotonya saja, saya sudah gentar. Ibu tahu kekhawatiran saya. Makanya ketika pegawai dengan aksen Bali itu menawari saya, Ibu spontan menjawab tidak. Namun entah karena apa saya malah mengiyakan. Sudahlah apapun konsekuensinya, akan saya hadapi.

Betul saja, mata serasa berkunang. Kepala pening. Instruksi kru tentang cara dan mekanisme permainan sama sekali tidak nyantol di otak. Kami yang harusnya menjajal pertama, dengan sukarela dan senang hati mengalihkan pada empat lelaki dari rombongan itu. Harapannya, untuk melihat dulu bagaimana permainan ini digelar.

Alasan sebetulnya, ingin menelisik bagaimana raut muka dan ekspresi orang-orangnya, sebelum, pada saat di ketinggian dan sesaat setelah pendaratan. Tapi itu tidak membantu. Hati saya semakin kencang berdetak. Sampai kedengaran di kuping rasanya. Keringat mengucur di mana-mana.

Waktu cepat sekali berlalu. Saya di panggil, tapi cepat saya lukir ke Ima. Jerit pilu Ima dengan menyebut nama “ibu..ibu..” ketika berada diketinggian, memperparah keadaan saya. Ima turun sudah. Sekarang saya.

Sebelumnya, ada sepasang sarung tangan yang harus dipakai. Biru di tangan sebelah kanan, merah yang kiri. Ketika memakainya, saya sama sekali tidak konsentrasi. Tangan mendadak bergetar, tapi sarung tangan sudah terpasang meski dengan susah payah. Panggilan salah satu kru mengagetkan saya. Keringat kembali mengucur. Saya hampir membatalkan niat, namun Ibu sedikit memberi semangat.

Dua orang memasang tali temali dan pelampung dengan sangat cekatan. Raungan mesin boat seakan tidak sabar dan tanpa belas kasihan menarik tubuh manusia yang rentan ini. Dengan sentakan kecil, melayanglah saya. Awalnya memang berat. Proses naik di sekitar 10 meter awal membuat jantung saya seolah copot. Tapi setelah itu, kengerian agak berkurang. Perasaan diri waktu di puncak ketinggian (panjang tali 140 meter) sungguh campur aduk. Saya berdoa saja. Kadang di dalam hati, seringnya teriak tertahan.

Pemandangan di bawah sebetulnya sangat indah. Tapi saya tidak bisa menikmati. Angin yang tiba-tiba mengeras, membuat ketakutan yang sempat hilang muncul lagi. Payung mendapatkan getaran, dan itu cukup membuat ketar-ketir. Posisi ketika parasailing agak aneh. Boat berjalan kecang dan berputar-putar tetapi rasanya posisi saya di atas sini tidak berubah.

Di ketinggian, saya sebagai manusia sungguh merasa kecil. Bagai titik tak berarti di antara panggung dunia ini.

Setelah beberapa saat, (yang bagi saya amat lama itu) boat menghentikan lajunya. Kru di bawah mengangkat bendera biru, tanda agar saya menarik tali sebelah kanan, sesuai dengan warna sarung tangan. Pendaratan tidak mulus. Sempat saya terjatuh, membikin telapak kaki nyeri sampai beberapa hari.

Namun secara keseluruhan, tak habis saya bersyukur telah peroleh kesempatan ini. Suatu saat nanti saya ingin mencobanya lagi.

Read More......

Jumat, Agustus 01, 2008

Kalau Jum’at Seperti Ini, Saya Selalu Kangen Rumah

Saya benci khotbah Jum’at yang menyebar benih kebencian. Di tangan sementara orang, seperti khotib tadi, Islam berubah dari agama yang dingin menyejukkan, menjadi sangat panas dan membara. Di mataku hari ini, Islam tidak lagi layak menyombongkan diri sebagai rahmat bagi seru sekalian alam.

Di manakah wajah Islam yang damai, penuh toleransi ?. Sudah menguapkah ajaran yang ramah dan santun terhadap perbedaan ?. Patutkah kita yang garang dan haus darah ini masih mengaku umat Muhammad Rasulullah SAW, manusia penuh cinta kasih, berhati lembut dan penyayang itu ?.

Kalau Jum’at seperti ini, saya selalu kangen rumah. Rindu masjid kampung yang sempit dan sederhana, namun bersahaja itu. Rindu pada adem suasananya. Senyum tulus kakek-kakek. Binar mata girang anak-anak kecil yang kebanyakan berkulit legam, akibat sering berenang siang hari di kali, kadang sambil memandikan kerbau, bercengkrama menciumi kambing.

Kangen pada rendah suara khotib, yang santun mengajak diri berefleksi, jujur pada hati. Mengingat kembali apa yang telah dilakukan dalam seminggu terakhir. Dengan simpel bahasa Jawa halus, untuk menggugat ribetnya peran dan tingkah polah kita sebagai manusia. Mahluk lemah yang tiada bosan berserakan di bumi yang semakin tua ini.

Read More......