Kamis, September 04, 2008

Henk dan Livia

Ketika ngobrol panjang dengan Livia van Helvoort, tempo hari di hotel Tugu, Malang, saya sedikit bisa memahami mengapa Geert Wilders memiliki perspektif demikian mengerikan mengenai Islam. Tentu saya tidak bisa membenarkan pemahaman cupet politisi Belanda itu, yang menganggap muslim di mana saja di kolong langit ini sama saja.

Cuma yang menarik, dari cerita Livia juga Henk Nijhof , film Fitna bikinan Wilders sebetulnya kontekstual dengan dilematisnya pemerintah (juga warga) Belanda sekarang, berhadapan dengan imigran dari Maroko dan Turki yang hampir semuanya muslim.

Saya, Livia dan Henk, berphoto di daerah Coban Rondo, Batu.

Dalam beberapa tahun ini, Livia menyebut problem sebagian orang-orang muslim sebagai masalah inti negaranya. Bayangkan, masalah utama !. Kelakuan mereka dalam keseharian tidak saja mencoreng dan mengawut-awutkan wajah Islam di mata orang Eropa, namun juga melukai nilai kemanusiaan.

Saya sebagai muslim sungguh miris mendengar pengalaman-pengalaman Office Manager di Netherlands Institute for Multiparty Democracy (NIMD) itu.

Di Belanda, orang-orang Maroko misalnya, tinggal di pemukiman-pemukiman miskin dan rentan kriminalitas. Dari data pemerintah hampir 70 % tindak kejahatan di Belanda, dilakukan oleh mereka.

Tindakan urakan meneriaki setiap perempuan Belanda yang melintas di depan mereka dengan sebutan slut atau hooker (pelacur), dan homo, bagi lelaki yang semisal berkuncir, sungguhlah memalukan.

Belum lagi masalah kekerasan dalam rumah tangga. Kebanyakan lelaki Maroko dan Turki di Belanda tidak segan-segan menyiksa istri atau pacar-pacarnya. Laporannya sering masuk ke kantor polisi. Banyak juga kasus yang menceritakan tentang, suami yang seenaknya saja meninggalkan istrinya yang sedang hamil dan mengambil si anak ketika jabang bayi mulai tumbuh.

Dengan reputasi seperti itu, perempuan-perempuan lokal oleh karenanya menjauhi berkencan dengan lelaki-lelaki Maroko atau Turki.

Banyak juga masjid yang terpaksa ditutup karena mengajarkan jamaahnya menjadi ekstremis. Yang paling dekat, pengeboman kereta bawah tanah London tahun 2004, menjadi momok menakutkan dan meninggalkan kecurigaan akut pada muslim bagi negara-negara Eropa barat, tak terkecuali Belanda.

Polisi juga tidak bisa bertindak terlampau keras. Seperti banyak negara Eropa barat lain, Belanda sangat menjunjung tinggi isu-isu hak asasi manusia. Jika agak strength menangkapi orang-orang Arab itu, salah-salah bisa dituduh diskriminatif.

Saya, mas Hesti juga Epy dan Athok yang menemani Livia dan Henk makan malam tempo hari, merasa berkewajiban bercerita bahwa wajah Islam dibelahan dunia lain termasuk Indonesia tidak melulu seperti itu.

Islam, sebagaimana dicerminkan Muhammad Rasulullah sejatinya adalah agama yang lembut, damai, adem dan sangat toleran terhadap perbedaan. Maka tidak hanya ada satu surga sebetulnya yang bisa kita gapai kelak, kita pun sebenarnya dituntut untuk menciptakan surga di dunia ini. Tanpa ada perang, kekerasan, saling bunuh dan kebencian.

Di akhir makan malam, Livia yang tidak pergi ke gereja lagi itu, menyalami saya dengan erat, berterimakasih atas perspektif barunya tentang Islam. Ia juga mencium pipi saya dan kawan-kawan tiga kali, tanda persahabatan hangat dalam tradisi Belanda.

Saya-pun mendapatkan pelajaran baru lewat sosok Livia yang ramah dan energik. Serta melalui Henk, Presiden partai GroenLinks (Green Left), yang sangat kalem dan kebapakan itu. Mereka berdua setidaknya juga meruntuhkan stigma saya selama ini pada imagi orang Belanda yang kasar dan keras.
*
Saya menyimpan banyak cerita dan kesan manis selama menemani Henk dan Livia di Malang dalam dua hari ini. Semoga saya bisa menuturkannya lain waktu. Buka puasa dulu ah…

Read More......

Senin, Agustus 11, 2008

May The Force (Horse) Be With You !

Lebih seminggu lalu di Malang, untuk kedua kalinya saya menonton pentas musik Soundrenaline. Kalau dulu, empat tahun lampau, pergelaran itu terhelat di lapangan luar stadion Gajayana. Tahun ini, acara musik yang diklaim terbesar seantero negeri tersebut, berada di lapangan Rampal.

Nurur, teman saya, memprediksi ada tidak kurang 30 ribu orang yang menyemut di tanah lapang, tempat langganan tentara berlatih fisik itu. Koran lokal mengira-ngira 50 ribu manusia. Pihak penyelenggara yakin, total penonton mencapai 80 ribu kepala. Entah mana yang paling tepat.

Saya sendiri merekam banyak cerita remeh temeh. Namun, tentunya tidak “seheboh” di tahun 2004. Ketika itu, ribuan orang dikejutkan oleh tewasnya satu orang penonton, akibat hubungan arus pendek listrik. Masih segar dalam ingatan, dentum ledakan itu sungguh menggelegar. Awalnya saya mengira suara itu berasal dari perangkat sound system yang konslet. Maklum, sore itu hujan cukup deras mengucur. Sungguh mengerikan. Beberapa pengisi acara terpaksa undur diri.

Di koran esok paginya saya membaca; penonton itu tersengat aliran listrik karena menginjak kabel “telanjang” yang melintang tidak jauh dari panggung.

Tahun ini bagi saya biasa saja. Bahkan bisa dibilang mengecewakan, jika mengacu pada kacau balaunya jadwal acara. Beberapa penyanyi yang tidak ada dalam list, tiba-tiba hadir dipanggung. Juga sebaliknya, beberapa artis yang masuk daftar tiba-tiba menghilang begitu saja. Ini belum lagi ditambah dengan tidak sinkronnya artis dan panggung.

Ada tiga panggung di sana. Dua terbesar untuk artis-artis terkenal. Sisanya agak kecil, “Talent Stage” namanya. Yang terkahir ini disediakan untuk penyanyi yang tidak terlampau tersorot media mainstream. Misalnya Burgerkill. Sayang The Adams tidak jadi tampil. Padahal mereka salah satu yang sangat ingin saya saksikan di Soundrenaline tahun ini.

Nah, yang bermasalah ialah agenda di dua yang terbesar itu. Contohnya begini, di jadwal, J-Rock harusnya tanpil di panggung A, eh tahunya malah di B. Belum lagi problem waktu. Penyanyi X tertulis pukul 4 sore, malah nyatanya manggung jam 6 sore. Ini tidak satu-dua artis, tetapi hampir semuanya. Ini diperparah dengan tidak seragamnya jadwal di web resmi dan booklet yang dibagikan.

Sungguh tidak profesional. Kita, penonton, seolah tidak punya otoritas mengetahui apa yang terjadi sebetulnya. Jika semisal salah satu penampil tidak bisa hadir, harusnya panitia memberi pangumuman, dan merilis jadwal baru.

Saya sungguh kecewa, karena harus pontang-panting menentukan pilihan tontonan. Soal memilih ini pun hanya bisa sampai sore saja. Selepas itu, saya tidak bisa pindah-pindah lagi karena padatnya lautan manusia.

Lepas dari rangkaian kejengkelan itu, ada juga yang menyenangkan. Tepatnya hal yang tak disangka-sangka.

Kaos saya ada yang menyamai !. Saya benar-benar tidak mengira ada juga yang menyablon gambar dan tulisan May The Horse be With You dikaosnya. Meski sama-sama berwarna hitam, menurut saya desain kaos orang itu lebih baik. Beda dengan saya, orang itu memberi sentuhan merah menyala. Gambarnya pun jauh lebih besar. Bukan di dada saja numun melebar hingga perut. Kombinasi yang pas.




Jujur, desain kaos itu cukup nakal. Bahkan mungkin agak jorok. Tapi dari beberapa orang yang berkomentar pada kaos itu, rata-rata mengatakan lucu.

Apalagi kalau tahu atau mendengar, bahwa tulisan itu merupakan pelesetan dari salam yang biasa diucapkan ksatria jedi di film Star Wars, minimal mereka akan tersenyum. Horse dalam May The Horse Be With You, sebetulnya adalah kata Force. Jadi salam (kebanyakan perpisahan) yang diucapkan Luke Skywalker, dkk itu adalah May The Force Be With You.

Dua orang berperan pada kelahrian kaos yang dibikin tahun 2003 itu. Pertama Helvin. Entah dimana sekarang, kakak kelas 5 tingkat dari saya itu berada. Terakhir saya dengar, ia bekerja untuk salah satu televisi nasional. Tapi ada kawan yang mengatakan dia telah hengkang. Entahlah. Helvin yang mencari desain. Dan ia cukup PD kalau tidak bakal ada yang menyamai pemakaian desain itu di kaos oblong. Waktu itu saya sepakat.

Sedang yang mencetak adalah Aris, kakak tingat 2 tahun di atas saya. Ia sekarang menjadi jurnalis, di koran lokal terbesar di Jawa Timur.

Bertahun-tahun saya merasa seperti apa yang Helvin katakan. Tetapi siang itu rasa tersebut runtuh sudah. Mendapatkan surprise seperti ini kadang cukup menyenangkan.

Read More......

Selasa, Agustus 05, 2008

Namanya Parasailing

Pada saat ketakutan itu menghampiri. Pilihannya hanya dua, lari menghindar atau berani menghadapi. Kalau sudah bertahun-tahun menghindar, tentu ada kalanya kita berujar “okelah, akan kutantang kau hari ini”. Tentu ini amat tidak mudah. Setidaknya bagi saya.

Namanya Parasailing. Pasti saya akan terus mengingat nama tersebut. Saya yang sangat takut ketinggian ini, merasa plong, lega dan tidak percaya telah berhasil menaklukkan phobia itu.

Ketika mengunjungi Mirah Fantasia (MF), salah satu objek wisata bahari di kampung halaman saya, Banyuwangi, tidak terbesit sedikitpun untuk ber-parasailing ria. Ima, salah satu adik perempuan saya mengajak jalan-jalan ke MF, karena pertama, hari itu weekend, dan kedua tempat itu belum pernah kami kunjungi.

Ima sendiri hanya pernah lewat sekilas di depan pintu gerbang MF, dan mendengar cerita dari seorang kawannya bahwa tempat itu menyediakan permainan-permainan air yang mengasyikkan. Siapa yang bisa menolak banana boat, jet ski, atau kano. Jujur saja saya ngiler. Dan dengan sepeda motor berkecepatan penuh, sampailah kami di lokasi.

Ada tiga pintu masuk yang ditawarkan MF. Pertama taman burung. Tiketnya 10 ribu rupiah. Saya sama sekali tidak berminat. Untuk apa melihat burung, wong niat awalnya ingin merasai air laut. Pintu kedua menuju pantai. Harga masuk 5 ribu saja. Nah ini tujuan saya.

Pintu ketiga ke arena waterboom, “nama resmi” bagi kolam renang yang menyediakan papan seluncur tinggi, panjang berkelok-kelok. Saya suka berenang, tapi kalau disuruh membayar 30 ribu sekali masuk, saya tidak butuh mikir untuk mengatakan no way.

Ada banyak tempat di Banyuwangi yang menyediakan tempat renang murah. Taman Suruh, misalnya. Untuk masuk dan berenang sampai teler di pemandian itu, kita hanya harus merogoh kocek 6 ribu saja. Desa Wisata Using lebih miring lagi, kalau hari biasa besar upetinya hanya 3 ribu rupiah.

*
Pantai MF memang indah. Airnya berwarna biru jernih. Menyenangkan sekali melihatnya. Tapi ampun kotor banget. Sampah beserakan di mana-mana. Untuk sampai ke pantainya, kita bahkan harus melewati sungai air payau yang dasarnya tidak kokoh, karena permukaannya terdiri dari gambut. Kalau salah tumpuan, kaki bisa terperosok masuk. Tidak berbahaya memang, namun eman saja kalau celana yang sudah dilinting mendekati lulut menjadi basah.

Belum lagi karang tajam banyak berserakan di sekitar sungai. Ceroboh sedikit saja, telapak kaki bisa tergores.

Karena di awal sudah punya niat besar untuk melihat pantai, sungai payau tersebut tidak menjadi masalah bagi kami.

Siang itu MF sepi sekali. Hanya Ima dan saya saja yang ada di situ. Pantai serasa milik kami berdua. Sebelumnya memang ada pegawai MF mendekati kami, menawarkan berbagai macam permainan air. Kami tolak. Alasannya ingin jalan-jalan lihat pantai saja.

Hampir satu jam kemudian, ibu, beserta bude dan Nisa, gadis kecil tujuh tahunan itu menyusul kami. Anehnya, pantai yang sepi, sontak ramai, karena ada rombongan turis lokal dari luar kota. Suasana yang muram menjadi menyenangkan.

Di sinilah awalnya. Ima yang pertama tertarik menerima ajakan sang pagawai untuk mencoba parasailing. Melihat foto-fotonya saja, saya sudah gentar. Ibu tahu kekhawatiran saya. Makanya ketika pegawai dengan aksen Bali itu menawari saya, Ibu spontan menjawab tidak. Namun entah karena apa saya malah mengiyakan. Sudahlah apapun konsekuensinya, akan saya hadapi.

Betul saja, mata serasa berkunang. Kepala pening. Instruksi kru tentang cara dan mekanisme permainan sama sekali tidak nyantol di otak. Kami yang harusnya menjajal pertama, dengan sukarela dan senang hati mengalihkan pada empat lelaki dari rombongan itu. Harapannya, untuk melihat dulu bagaimana permainan ini digelar.

Alasan sebetulnya, ingin menelisik bagaimana raut muka dan ekspresi orang-orangnya, sebelum, pada saat di ketinggian dan sesaat setelah pendaratan. Tapi itu tidak membantu. Hati saya semakin kencang berdetak. Sampai kedengaran di kuping rasanya. Keringat mengucur di mana-mana.

Waktu cepat sekali berlalu. Saya di panggil, tapi cepat saya lukir ke Ima. Jerit pilu Ima dengan menyebut nama “ibu..ibu..” ketika berada diketinggian, memperparah keadaan saya. Ima turun sudah. Sekarang saya.

Sebelumnya, ada sepasang sarung tangan yang harus dipakai. Biru di tangan sebelah kanan, merah yang kiri. Ketika memakainya, saya sama sekali tidak konsentrasi. Tangan mendadak bergetar, tapi sarung tangan sudah terpasang meski dengan susah payah. Panggilan salah satu kru mengagetkan saya. Keringat kembali mengucur. Saya hampir membatalkan niat, namun Ibu sedikit memberi semangat.

Dua orang memasang tali temali dan pelampung dengan sangat cekatan. Raungan mesin boat seakan tidak sabar dan tanpa belas kasihan menarik tubuh manusia yang rentan ini. Dengan sentakan kecil, melayanglah saya. Awalnya memang berat. Proses naik di sekitar 10 meter awal membuat jantung saya seolah copot. Tapi setelah itu, kengerian agak berkurang. Perasaan diri waktu di puncak ketinggian (panjang tali 140 meter) sungguh campur aduk. Saya berdoa saja. Kadang di dalam hati, seringnya teriak tertahan.

Pemandangan di bawah sebetulnya sangat indah. Tapi saya tidak bisa menikmati. Angin yang tiba-tiba mengeras, membuat ketakutan yang sempat hilang muncul lagi. Payung mendapatkan getaran, dan itu cukup membuat ketar-ketir. Posisi ketika parasailing agak aneh. Boat berjalan kecang dan berputar-putar tetapi rasanya posisi saya di atas sini tidak berubah.

Di ketinggian, saya sebagai manusia sungguh merasa kecil. Bagai titik tak berarti di antara panggung dunia ini.

Setelah beberapa saat, (yang bagi saya amat lama itu) boat menghentikan lajunya. Kru di bawah mengangkat bendera biru, tanda agar saya menarik tali sebelah kanan, sesuai dengan warna sarung tangan. Pendaratan tidak mulus. Sempat saya terjatuh, membikin telapak kaki nyeri sampai beberapa hari.

Namun secara keseluruhan, tak habis saya bersyukur telah peroleh kesempatan ini. Suatu saat nanti saya ingin mencobanya lagi.

Read More......

Jumat, Agustus 01, 2008

Kalau Jum’at Seperti Ini, Saya Selalu Kangen Rumah

Saya benci khotbah Jum’at yang menyebar benih kebencian. Di tangan sementara orang, seperti khotib tadi, Islam berubah dari agama yang dingin menyejukkan, menjadi sangat panas dan membara. Di mataku hari ini, Islam tidak lagi layak menyombongkan diri sebagai rahmat bagi seru sekalian alam.

Di manakah wajah Islam yang damai, penuh toleransi ?. Sudah menguapkah ajaran yang ramah dan santun terhadap perbedaan ?. Patutkah kita yang garang dan haus darah ini masih mengaku umat Muhammad Rasulullah SAW, manusia penuh cinta kasih, berhati lembut dan penyayang itu ?.

Kalau Jum’at seperti ini, saya selalu kangen rumah. Rindu masjid kampung yang sempit dan sederhana, namun bersahaja itu. Rindu pada adem suasananya. Senyum tulus kakek-kakek. Binar mata girang anak-anak kecil yang kebanyakan berkulit legam, akibat sering berenang siang hari di kali, kadang sambil memandikan kerbau, bercengkrama menciumi kambing.

Kangen pada rendah suara khotib, yang santun mengajak diri berefleksi, jujur pada hati. Mengingat kembali apa yang telah dilakukan dalam seminggu terakhir. Dengan simpel bahasa Jawa halus, untuk menggugat ribetnya peran dan tingkah polah kita sebagai manusia. Mahluk lemah yang tiada bosan berserakan di bumi yang semakin tua ini.

Read More......

Rabu, Juli 30, 2008

Gandhi dan Saya

(Gandhi dan saya di sisi sini, pulau Bali di seberang sana)

Mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kali saya memakai kaos oblong bergambar Mahatma Gandhi. Seiring pergulatan waktu, saya suka, karena pas di badan, enak dipakai. Awalnya tidak ada niat untuk menyablon wajah tokoh luar biasa dari India itu. Namun beginilah akhirnya.

Saya yakin, hampir semua orang Indonesia yang pernah “bersekolah” mengetahui sosok Gandhi. Setidaknya pernah dengar. Di sekolah dasar, ketika dulu ada pelajaran PSPB (lalu Sejarah), Gandhi sudah menyita perhatian saya. Saya tidak habis pikir, ia, orang tua kecil kurus, gundul dan sederhana itu koq bisa menjadi tokoh yang sungguh punya nama besar, dikagumi, dikenang dan amat terkenal di hampir seluruh pelosok bumi ini.

Hingga hari ini, fotonya tidak hanya beku di kantor-kantor instansi pemerintah India saja. Nama Gandhi bahkan menjadi label, bagi banyak pemimpin negeri hindustan itu pada tahun-tahun setelahnya. Kurang lebih semacam trah. Seperti nama Kennedy dan Bush di Amerika Serikat.

Saya sendiri baru agak mendalam mengikuti sepak terjang Gandhi, ketika membacai otobiografi Indonesianya yang diterjemahkan dengan sangat apik oleh Gd. Bagoes Oka. Buku yang saya miliki diterbitkan tahun 1985. Itu pun sudah cetakan keempat. Penerbit Sinar Harapan meluncurkan edisi awalnya sepuluh tahun sebelumnya, alias tahun 1975.

“Gandhi, Sebuah Otobiografi”, judul buku itu, saya beli Oktober 2005 dari kios Pustaka Sarjana milik mas Nasir, seorang pedagang buku lawas yang mangkal di Jalan Sriwijaya, dekat stasiun Kota Baru, Malang. Sekarang si Mas sudah memindahkan usahanya ke Jalan MT Haryono, bersebrangan dengan gedung angkuh nan kaku milik Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.

Kembali ke kaos oblong. Kawan saya Yoyok dibantu Jatriek yang membikinkannya. Ketika menerima pertama kali dari mereka sekitar dua tahun lampau, waktu antri tiket kereta api di stasiun Malang, saya tidak terlampau sreg dengan tampilannya. Selain sablonannya yang belepotan, kualitas kaosnya pun jelek. Gerah sekali pas dipakai.

Memang harganya murah, hanya 35 ribu. Tetapi dari pengalaman, dengan harga segitu, pada saat itu, saya bisa mendapatkan kaos yang relatif lebih bagus kualitasnya. Tambahan lagi, tulisan satyagraha yang seharusnya nonggol di bagian belakang kaos, seperti pesanan saya, munculnya malah di sisi dalam. Mereka meminta maaf dan berjanji memperbaikinya sepulang saya dari Banyuwangi. Saya berkata tidak masalah. Meski di dalam hati agak dongkol juga. Karena tidak punya uang, terpaksa saya menyicil kaos oblong itu.

Sekarang, saya baru merasakan faedah memilki kaos Gandhi tersebut. Meski bersifat simbolik, kaos itu setidaknya menjadi pengingat saya untuk meneladani sifat individual atau menekuri jalan hidup Gandhi yang sangat reflektif itu. Makasih Yok, Trik…

Saya ini sudah kadung menganggap politik adalah sebusuk-busuknya barang dan (atau) perbuatan. Tapi ketika memakai kaos itu, Gandhi dengan suara lembut seolah sedang berbisik pada saya…”tidak Nur, jika kita punya niat tulus, politik tidak lain dari pengabdian manusia kepada manusia lain, dengan segenap jiwa raga, dengan tekad untuk membebaskan sesama kita dari keterpurukan dan kepapaan….”

Read More......

Rabu, Juli 09, 2008

Kelas Pekerja

Merekalah tenaga kerja itu, manusia yang tiada beda dengan benda-benda produksi ciptaannya. Dalam kacamata industri, mereka ini bernilai tidak begitu jauh dari mesin dan modal. Perputaran hidupnya pun simpel. Mereka menjual tenaga untuk memproduksi komoditas (K), lalu mendapat uang (U), dan lantas membeli komoditas lainnya (K).

Pikiran ala Karl Marx tersebut sempat mampir, ketika belakangan, beberapa kawan mengeluhkan aktivitas kerjanya pada saya. Ronggi, salah satunya. Berbulan-bulan ia bekerja sebagai pegawai layanan telepon, di salah satu operator jaringan telepon seluler paling terkenal di negeri ini. Dia tidak betah, tapi tak mampu keluar. Dia sadar ruang kerjanya adalah penjara, namun ia tak bisa begitu saja cabut. Menurut nalar rasionalnya, dan tentu juga saya, tidak punya kerja berarti siklus K-U-K akan terhenti. Bisa buyar semuanya.
Technorati Profile

Gajinya sebetulnya bagus, akunya. Tetapi deskripsi kerja dan lingkungannya amatlah menyiksa. Dia, kadang dengan geram menceritakan kelakuan bos-nya yang jauh lebih peduli pada target. Pada angka beku penjualan, ketimbang relasi kemanusiaan. Kalau perusahaan mengalami penurunan pelanggan, semua pekerja, termasuk penerima telepon dihakimi dengan “kejam”. Untuk pekerja rendahan, evaluasi menjadi judgement day, hari eksekusi. Siapa yang tidak memuaskan akan dibuang ke jalan.

Belum lagi intrik-intrik mengerikan. Saling telikung. Jilat kiri, jilat kanan, manjadi pemandangan saban hari. Cerita-cerita sampah berhamburan di mana-mana. Tiap orang berpotensi menjadi oportunis. Yang dulunya orang baik, tiba-tiba berubah drastis jadi monster menjijikkan saat naik jabatan. Hubungan manusia dalam kantor itu, kata Ronggi, tidak lebih dari hubungan benda-benda. Tidak muncul manusia dalam ruangan megah itu. Yang ada hanyalah robot-robot yang tak lagi punya otoritas.

Belum lagi urusan pelanggan yang menyebalkan. Ratusan pertanyaan yang sama mungkin tidak masalah. Ratusan jawaban yang diulang-ulang, bisa jadi tak soal. Ronggi sadar, kontrak kerja menghendaki demikian.

Tetapi nahasnya, operator telepon sering jadi sasaran makian iseng. Kata-kata kotor mau tidak mau harus diterima dengan sabar dan ikhlas. Sekali emosi meluap, siap-siap saja dipecat. “Telepon para operator selalu disadap penyelia atau manager, saya tahu waktu ada evaluasi”, cerita Ronggi. Meski penyadapan tersebut bersifat acak, ini sudah cukup untuk membuat takut. Hasrat alamiah manusia yang bisa sebel, marah, sedih, ditekan sedemikian rupa. “Bagaimanapun juga Nur, pelanggan adalah raja”, pasrah Ronggi hari itu dalam sambungan telepon.

Sudah banyak korban jatuh. Tubuh ambruk, kesehatan tersungkur ditabrak rutinitas kerja. Salah satu teman Ronggi sampai terkena Vertigo. Sebuah penyakit yang menyerang saraf area kepala. Penyebabnya hampir bisa dipastikan; pemakaian headset berlebihan ditumbuki tumpukan stress yang menggunung.

Banyak orang menganggap vertigo gejala enteng. Tetapi siapa yang tidak terganggu, jika kepala, setiap waktu menerima tamu dengungan keras bertalu-talu. Pada stadium lanjut, penanganan vertigo bahkan harus diselesaikan di meja operasi.

Saya betul-betul tidak menyangka, dibalik suara-suara merdu itu, tersimpan kebekuan hidup yang sungguh akut. Karena bidang kerja itu nyatanya bukan pilihan sadar. Sebagaimana terjadi pada banyak orang di dunia ini.

Meski dengan bidang kerja berbeda, beberapa kawan lain juga pernah mengalami kasus yang identik. Dunia kerja yang harusnya menabalkan eksistensi manusia, malah membuat mereka terasing, tidak hanya dari barang produksinya, tapi juga pada lingkungannya.

*gambar diunduh dari sini

Read More......

Kamis, Juni 26, 2008

Foucault

Mendung kelabu memeluk Paris hari itu. Tanggal 25 Juni 1984, pada usia 58 tahun, Michel Foucault mangkat meninggalkan kita semua. Koran bereputasi internasional Le Monde, melaporkannya di halaman depan.

Sejenis penyakit ganas ditengarai sebagai penyebabnya. Waktu itu tidak banyak orang tahu apa dan bagaimana wabah itu bisa melumpuhkan seorang manusia. Di kemudian hari, setelah jutaan orang mengetahui bahwa penyakit itu bernama AIDS, merebaklah kontroversi. Foucault menjadi sosok terkenal pertama dari Perancis, yang dilaporkan meninggal karena sindrom tersebut.

Namun gamangkah kita karena kabar tersebut ? Gentarkah kita ?. Saya tidak. Foucault di surga sana pasti juga akan begitu. Pria gundul itu mengajarkan pada kita agar tidak silau pada selebritas seseorang. Manusia zaman sekarang, kata Foucault, terlalu di kendalikan oleh ketertarikan pada karakter orang. Persepsi selalu tercantol pada nama, pada wajah. Kata-kata tidak lagi didengarkan menurut kekuatan isinya, melainkan siapa yang mengucapkan.


Bagi saya, reportoar Foucault sangatlah bening. Ia tidak saja telah mengabarkan pada kita untuk berani memilih jalan sendiri. Lebih dari itu, ia juga telah membukakan jalan lain yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Memang tidaklah murah harga untuk membabat hutan itu. Bahkan seperti yang kita tahu, Foucault harus menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tumbal, bagi lempang jalan yang selalu dicintainya, Ilmu Pengetahuan.

Pengenalan pada seorang filsuf seperti Foucault menjadi mubadzir, kalau kita cupet memahami pemikirannya. Karena dari cara berfilsafatnya saja, kita sebetulnya sudah mengetahui siapa Foucault sebenarnya. Foucault menunjukkan melalui banyak tulisan, tentang penolakannya pada dunia yang dianggap sudah mapan ini. Kewajaran, kelaziman, kenormalan bukan barang yang ada dengan sendirinya. Ia tak lain merupakan konstruksi.

Menududukkan Foucault pada satu aliran filsafat tertentu, bukanlah pekerjaan mudah. Minatnya yang sangat luas pada sastra, filsafat sejarah, sosiologi, politik, psikologi, psikiatri, linguistik, semiotik, kriminologi dan lain sebagainya, membikin kita susah mengidentifikasi Foucault pada predikat tertentu.

Banyak ahli, bahkan yang sudah bangkotan, juga bingung menyematkan julukan pada pria yang lahir di Poitiers itu. Strukturaliskah ?, Neo-Strukturaliskah ?, Postrukturaliskah? atau Posmoderniskah ? arus yang ditekuri bekas murid filsuf mahsyur, Louis Althusser ini.

Apapun itu, Foucault tidak menyukai semua julukan yang dilekatkan orang padanya. Namun dari seluruh studi dan riset yang telah dilakukannya, Foucault sangatlah dekat dengan bidang sejarah. Seperti kata Konrad Kebung. Sejarah versi Foucault, bukanlah himpunan dan rekaman peristiwa-peristiwa masa lampau dan perkembangannya hingga kini. Sejarah tidak pula dilihat sebagai sesuatu yang memiliki tujuan di dalam dirinya.

Kalau memaksa mendefinisikan, sejarah di sini, adalah momen-momen, saat kebenaran dan kesalahan berkonfrontasi dalam pengetahuan kita. Metode yang dipakai Foucault yakni arkeologi dan genealogi, membantu kita untuk melihat sejarah dan mozaik masa lampau, sebagai pelita untuk membaca peristiwa dan hidup manusia masa kini. Justru karena itulah Foucault tidak dikenal sebagai sejarawan masa lalu, namun sejarawan masa kini. Sejarah di tangan Foucault, bukanlah barang kuno yang mati, beku serta tiada berguna. Sejarah ala Foucault tidak kurang adalah sebuah instrumen, juga wacana.

Konsep “kekuasaan” juga adalah salah satu sumbangan Foucault yang amat berharga. Foucault, tidak memandang kekuasaan sebagai konsep yang represif. Artinya, daya pancar kekuasaan tidak tersentral pada orang atau lembaga yang memaksakan kepentingannya untuk menundukkan yang lain.

Kekuasaan dalam terminologi Foucault tidaklah objektif dan terpusat. Ia merupakan jejaring yang menyebar secara halus, diskursif dan sangat subjektif. Kekuasan oleh karena itu tidak lagi bersifat represif apalagi opresif, tetapi produktif dengan melanggengkan kenormalan susunan kemasyarakatan. Penjara, sekolah, klinik-klinik kesehatan adalah lembaga-lembaga yang melanggengkan logika kuasa itu. Tubuh manusia lantas menjadi sangat disiplin. Ia tidak lebih dari organ yang taat dan selalu menaatkan diri.

Penjara dan seks merupakan salah satu tema sentral dalam karya-karya Foucault. Buku, Surveiller et Punir (1975) dan Histoire de la sexualite (1976) menegaskan hal itu. Seks di sini bukanlah hubungan yang melibatkan persoalan perkelaminan saja.

Seks yang hendak dibidik Foucault adalah sejarah seksualitas dalam beberapa periode dalam masyarakat barat. Seks pada akhirnya bukan lagi persoalan keintiman dan privat semata. Lebih dari itu, seks sangat terkait erat dengan kekuasaan dan wacana. Madam Sarup seperti yang dikutip Donny Gahral Adian mengatakan, seks di tangan Foucault, tidak lagi mempersoalkan bagaimana orang membelenggu yang lain. Melainkan bagaimana orang membelenggu dirinya sendiri.

Di titik inilah saya sebagai manusia merasa sangat berhutang pada Foucault. Ia dengan sabar dan gemilang menunjukkan wilayah yang sebelumnya gelap menjadi terang. Ia dengan teliti mengurai benang kusut dan keruwetan sejarah yang seolah tidak berhubungan itu, menjadi konsep baru, orisinil dan bahkan tidak terpikirkan sebelumnya. Michel Foucault, terima kasih banyak atas inspirasi yang menggugah ini.

*gambar diperoleh dari sini.

Bacaan :
-Basis Januari-Februari 2002
1. Orang yang Berjalan Di Depan Kita.
2. Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan.
3. Konrad Kebung, Kembalinya Moral Melalui Seks.
4. Donny Gahral Adian, Menabur Kuasa Menuai Wacana.
-John Lechte. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Kanisius, Yogyakarta.

Read More......

Minggu, Juni 22, 2008

Di Zurich, Ballet Menyala Kembali


Sejak masa imperium Romawi, kurang lebih 90 tahun setelah Yesus mangkat, Zurich telah dikenal sebagai salah satu kota paling makmur di Eropa. Ia merupakan situs sirkulasi pajak daerah taklukkan. Ia juga pusat percetakan uang dan markas besar bea cukai. Keluarga Manesse yang memerintah Swiss antara tahun 1304 hingga 1340 terus mempertahankan peran tersebut. Tidak heran peningkatan kesejahteraan penduduknya selalu di atas rata-rata tetangganya di Eropa daratan.

Hingga millenium ini, untuk masalah jaminan kehidupan, warga Zurich boleh tetap menepuk dada. Antara 2006 sampai 2008, Zurich menasbihkan diri sebagai kota dengan kualitas hidup terbaik di dunia. Zurich pun sangat multikultur. Ia adalah kota dunia. Dalam darah lebih kurang 370.000 orang Zurich, mengalir ras Jerman dan Italia, Albania serta Kosovo, untuk menyebut beberapa saja golongan yang paling besar.

Kesyahduan sungai Limmat menjadi cermin kedamaian, ketenangan serta keteraturan kota yang berada di negara paling “aman” di dunia, Swiss.

Bulan Juni tahun ini, wajah Zurich yang ayem sedikit berubah. Hajatan bola Piala Eropa, telah membawa kegairahan dan antusisme pada kota ini. Seperti dilaporkan berbagai jenis media massa, orang-orang dari penjuru Eropa, terutama Italia, Rumania dan Perancis tumpah ruah di bar dan area suporter yang tersedia. Bahkan jalanan dan stasiun bawah tanah begitu menyolok dengan hadirnya warna biru dan kuning, warga jersey tiga kesebelasan.

Stadion Letzigrund, memang beruntung menjadi tuan rumah untuk tiga pertandingan di pool neraka, Grup C. Sayang, publik Zurich tidak kesampaian untuk menikmati aksi Total Football Belanda menghabisi tiga raksasa, Italia, Perancis dan Romania. Stadion beratap pembangkit tenaga surya, Stade de Suisse Wankdorf, di Kota Bern, lebih mujur mendapat kehormatan, menyediakan lahan bagi team oranje untuk membinasakan dan mengubur lawan-lawannya dengan cara teramat cantik.

Meski begitu, Zurich tetap menyimpan memori istimewa. Pertandingan pamungkas di kota yang pernah ditinggali Albert Einstein dan Vladimir Lenin itu, menyuguhkan opera dengan lakon tumbangnya ayam jago uzur Perancis, dari juara dunia 2006 Italia. Walau dua gol kemenangan Azurri lahir tidak dari mekanisme serangan menawan, penalti Andrea Pirlo dan sepakan bebas Daniele de Rossi, lebih dari cukup untuk (sekali lagi) mengantar Italia lolos dari lubang jarum.
Meski Euro 2008 masih beberapa hari lagi. Pertunjukkan bola kaki sejatinya telah meninggalkan Zurich. Apalagi team Swiss juga sudah angkat kaki dari turnamen. Pentas opera, ballet dan teater yang “telah lama” melompong, kini bisa hiruk pikuk kembali.

*Gambar diambil dari sini

Read More......

Minggu, Juni 01, 2008

Lagak Jakarta


Untuk kedua kali seumur hidup, akhirnya saya membeli komik lagi. Dua hari lalu (30/05), dengan kesadaran penuh dan tanpa pikir panjang, saya mencomot Lagak Jakarta, dari rak buku Toga Mas, Malang. Pembelian ini juga tanpa bujuk rayu dan rengekan. Ini beda dengan tahun 1994, saat saya kelas 5 SD. Waktu itu saya mengerahkan tenaga penuh untuk memelaskan diri. Untuk membujuk Bapak yang tidak punya duit, agar mau membelikan komik si hantu baik, Casper.

Read More......

Kamis, Mei 29, 2008

Preman Nusantara (2)*

Hingga hari ini, Amangkurat I (1646-1677) terkenal sangat tidak populis. Beberapa pembaca sejarah nusantara, bahkan ada yang mengatakan Raja Mataram itu psikopat.

Coba bayangkan, selama masa pemerintahannya, ribuan orang tewas dibantai. Korban yang jatuh tidak hanya "orang-orang penting" saja. Namun, ia juga membantai keluarga, pengikut serta budak politikus-politikus senior, loyalis ayahnya, sang raja tua, Sultan Agung.

Penggayangan besar-besaran terjadi pada tahun 1648, dua tahun setelah sang Raja naik tahta. Seperti cerita Ong Hok Ham, pada tahun itu ,Amangkurat I membunuh adiknya sendiri. Tidak ketinggalan, anak buah sang saudara juga dienyahkan. Pada saat yang sama, ia juga membunuhi ulama, santri, dan pengikut lainnya.

Korban yang tumbang menurut data yang diperoleh Ong, tidak kurang dari lima sampai enam ribu jiwa. Gilanya, dari tahun 1648 sampai 1677 masih terdapat 14 kali pembunuhan massal, meskipun tidak sebesar tahun 1648 itu.

Di sini mulai tampak peran jago dalam merebut atau menjaga kekuasaan. Pada saat damai, mereka menjadi semacam tukang pukul raja, yang setiap waktu menjaga kedaton ataupun rumah pribadi. Mereka lantas menjadi instrumen utama, ketika terjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan. Jumlah tukang pukul; yang kuat fisik dan sakti, tentunya; mencapai ratusan bahkan ribuan.

Preman tumbuh dengan pesat, karena tidak adanya posisi negara sentralistik sokongan konstitusi yang syah dan mapan. Raja-raja jaman dulu, mencantolkan kekuasaannya murni pada kharisma. Namun aura kharismatik bukan melulu bakat, bawaan lahir atau taken from granted. Ia juga disokong lewat legitimasi kuat dari bawah.

Raja oleh karena itu, adalah super-preman. Memang, mitos-mitos yang terus dihembuskan ke masyarakat luas adalah raja tidak lain merupakan wakil Tuhan di dunia. Ia, dalam bahasa Ong merupakan peneriman wahyu kedaton. Atau banyak sebutan lainnya. Tetapi kalau dilihat dari kacamata politik praktis, tidak bisa dipungkiri kalau kekuatan yang membuat raja begitu kuat adalah banyaknya pendekar yang dia miliki.

Dalam perjalanan waktu, akan kita ketahui bahwa perebutan dan pelanggengan kekuasaan lewat kekerasan kebanyakan tidak berumur panjang. Meski elite lama di bantai. Elite baru dibikin, juga diawasi agar tidak terlalu kuat, namun absolutisme raja tidak bisa begitu saja ditegakkan.

Contohnya kasus Amangkurat I. Terbukti meski dia sudah habis-habisan, akhirnya ia harus tumbang juga. Pemberontakan pangeran Madura Trunojoyo tahun 1676, membuat sang raja harus meninggalkan kerajaan. Raja Mataram itu akhirnya mati di Tegal sebagai pelarian setahun kemudian.

Memasuki jaman kolonial, pertumpahan darah yang melibatkan penguasa sudah turun drastis. Ini disebabkan karena tekanan perjanjian buatan pemerintah Hindia Belanda begitu kuat. Sebetulnya, mutu polisi pada waktu itu sangat rendah. Inilah yang membuat pemerintah Hindia-Belanda menggunakan jasa preman. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menjaga stabilitas. Istilahnya, menangkap maling dengan maling. Dan terbukti cara tersebut sangat efisien.

Ketika konsep penguasa ningrat diganti menjadi konsep pegawai pangreh praja kolonial, tahun 1870-an, peran preman mulai sedikit tereduksi. Mereka tidak lagi difungsikan sebagai tukang pukul an sich, namun menjadi mata-mata (blater atau weri). Meski dalam paktek fungsinya sama saja, sebagai jago.

Saat birokrasi sangat ketat. Hubungan preman dengan pemerintah tidak seharmonis sebelumnya. Benturan dan konflik seringkali terjadi. Persolan tidak lagi diselesaikan lewat adu otot. Tetapi lewat prosedur, lewat undang-undang.

Makanya tidak heran, saat revolusi meletus, banyak anggota laskar-laskar kemerdekaan sejatinya adalah perampok dan maling.

Pemerintah Orde lama pun pada saat tertentu, juga menggunakan jasa jago, bahkan secara terang-terangan. Saya ingat satu tulisan Soe Hok Gie, yang dibuat beberapa waktu setelah peristiwa G 30/S meletus. Saya lupa judulnya apa. Tetapi, saya ingat di situ Gie menceritakan pengangkatan Kolonel Sjafei, “penguasa” daerah Senen sebagai menteri, ketika Indonesia chaos, menjelang Orde Lama runtuh.

Trend seperti itu agaknya berlangsung sampai sekarang. Meski dengan karateristik yang berbeda. Namun, seperti kata Ong, preman tidak akan berkembang tanpa adanya simbiosis mutualisme dengan organisasi kekuasaan resmi.


*Terima kasih atas tulisan alm. Ong Hok Ham yang luar biasa.
Paint by : JM. Basquiat. "early moses". www.bejata.com



Read More......