Selasa, Mei 20, 2008

Cina-Indonesia

...dengan geram Ong Hok Ham pernah berujar bahwa obsesi elite Indonesia yang bersumber pada hajat kekuasaan, jabatan dan status, segila obsesi orang Cina terhadap uang...

“Tanah kita sudah dikuasai Cina. Air kita diembat pejabat”. Saya terhenyak dengan reportoar penyanyi jalanan tersebut. Bukan karena dalam forum diskusi di Perpustakaan Kota Malang malam itu banyak dihadiri orang. Bukan pula, karena acara tersebut disiarkan langsung oleh RRI. Tetapi karena sebutan bernada tembak langsung buat etnis tertentu, pertama kali saya dengar dalam pertemuan publik.

17.000 lebih pulau milik Indonesia, memang menjadikan negeri ini sangat beragam dan berwarna. Belum lagi ditambah golongan “pendatang” dari daratan Asia Timur Jauh, Timur Tengah bahkan Eropa. Puluhan kali kiranya saya dengar anekdot serta guyonan menunjuk ras tertentu di ruang privat-informal. Tetapi jika itu hadir diruang publik, dengan nada serius pula, saya sungguh kaget. Hanya kaget. Tidak membenarkan, tidak menyalahkan.

Bagaimanapun juga, penyanyi jalanan tersebut, mengalami realitasnya sendiri yang khas. Membikinnya menarik kesimpulan atas apa yang ia lihat, dengar dan rasakan. Sama seperti gugatan mata kanak-kanak saya dulu, ketika banyak orang etnis Cina dikampung, bergelimang harta, karena menguasai hampir semua faktor produksi. Dari toko besar sampai tempat penggilingan padi raksasa. Sedangkan penduduk “asli”, sebagian besar, hidup dalam detak jantung kemiskinan.

Saya tidak tahu pasti mengapa sebagian besar warga keturunan Cina memilih berwiraswasta sebagai pilihan pekerjaan. Namun, dari cerita
beberapa kawan, saya angkat topi pada keuletan, etos kerja tinggi dan semangat pantang menyerah yang mereka miliki.

Layaknya kaum minoritas, etnis Cina di Indonesia juga mendapat citra jelek jika sedikit dari mereka berperilaku negatif. Keturunan Yahudi, Italia (Sissilia) atau Irlandia di Amerika, juga mengalami hal serupa. Dari pemberitaan media serta hasil-hasil penelitan dalam dan luar negeri kita bisa membaca bagaimana perangai buruk pengusaha papan atas, semasa orde baru sampai sekarang. Liem Sioe Liong, Bob Hasan atau Tommy Winata, ditulis kerap melakukan perselingkuhan dengan pemerintah serta menghalalkan berbagai macam cara untuk memuluskan bisnisnya.

Tidak saja bidang usaha yang terang tapi juga yang remang-remang, seperti judi, pelacuran dan narkotika. Jangankan mengusut, menindak lalu menangkap. Tentara dan polisi malah menjadi anjing penjaga yang setia bagi kantong-kantong bisnis itu. Kalaupun ada yang kebetulan kepergok, seringkali kasusnya dipeti-eskan.

Dengan geram Ong Hok Ham pernah berujar bahwa obsesi elite Indonesia yang bersumber pada hajat kekuasaan, jabatan dan status, segila obsesi orang Cina terhadap uang.

Saya pernah membaca Tjamboek Berdoeri, tentang pembunuhan besar-besaran orang Cina di Jawa. Sungguh miris dan merobek-robek jiwa. Juga Pram, yang menulis pengusiran besar-besaran banyak orang Cina pada tahun 1950-an dalam “Hoakiau di Indonesia”. Dari Pram saya ambil kesimpulan bahwa kemajemukan bukanlah anugerah. Kadang malah menjadi komoditas politik.

Teman sedaerah di kost bahkan menilai bahwa keturunan Cina bukanlah orang pribumi. Seperti kata Hoakiau, yang berarti perantauan, mereka tidak benar-benar meng-Indonesia. Padahal kebencian teman saya itu tadi, yang mengeras bagai batu, hanya dipicu oleh soal sepele. Problem pribadi. Masalah memori anak-anak dan dipupuk oleh kata-kata ayahnya, yang juga pernah disakiti oleh orang Cina. Soalnya kemudian bukan pada si Aliong dan si A Ling, namun merantak ke semua orang Cina. Muaranya pada tuduhan bahwa orang Cina adalah penyerobot harta orang-orang Jawa, penjajah, maling, sok elite, dst..dst..

Sekolahan di kampung saya, juga menegaskan hal itu. Saya ingat, untuk mencontohkan definisi akulturasi dan asimilasi dalam pelajaran ilmu sosial, guru saya selalu merujuk pada orang Cina-Indonesia. “Mereka adalah contoh golongan yang tidak bisa melakukan asimilasi”, begitu kira-kira kata guru saya.

Padahal kalau merujuk Pram. Diruntut dari rentang sejarahnya, orang Cina di Indonesia, sudah berabad-abad hidup di Nusantara ini. Mereka makan, minum, hidup dan mati di sini. Mereka sudah sama tuanya dengan nenek moyang kita. Bahwa ada dari mereka yang bajingan, orang “lokal” juga banyak yang begitu. Peran beberapa orang Cina dalam berbagai bidang di Republik muda ini, sebetulnya juga sangat besar. Namun seringkali tertutup oleh prasangka dan stigma.

Soalnya kemudian bukan pada orang per-orang namun pada struktur yang melingkupinya. Kalau bajingan-bajingan Cina sekarang berlaku buruk, terutama di bidang perekonomian-perdagangan. Kita juga harus melihat dengan jeli bahwa budaya feodalistik dan paternalistik, yang setia menggelayuti alam pikir birokrasi negara ini, sebenarnya akar yang patut disalahkan dan kudu dirombak total. Karena birokrasi yang korup, akan selalu setia membuka berbagai bentuk penyimpangan.

*
Semalam saya nonton Calling Indonesia di TVRI. Bersama-sama dengan pelaut-pelaut India, Selandia baru dan Philipina, yang bekerja di Australia, juga orang Australia sendiri, pelaut-pelaut Cina mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Belanda yang coba memboncengi sekutu, ketika perang pasifik hampir tuntas sepenuhnya, mereka tolak habis sebagai bentuk pelanggengan imprealisme.

Selain melakukan rally-rally, pertemuan-pertemuan dan kampanye. Mereka bahkan melakukan langkah sangat berani. Pelaut India mogok, tidak mau melayarkan kapal yang mengangkut senjata api dari Australia menuju Indonesia. Pelaut Cina tidak mau kalah. Mereka mempelopori aksi pengumpulan uang solidaritas di kalangan mereka sendiri. Total 1100 poundsterling terkumpul, murni dari kocek pribadi. Jumlah yang sangat besar waktu itu.

“Pemimpin kami Dr. Sun berkata, penidasan satu bangsa terhadap bangsa lain, harus tumpas dari bumi ini. Perjuangan Indonesia adalah perjuangan kami. Kemenangan Indonesia adalah kemenangan kami”, pekik mereka, disambut tepukan meriah ratusan orang, yang kurang lebih terdiri dari 5 bangsa itu.

Tidak ada komentar: