Rabu, Mei 21, 2008

Supersemar = SUharto PERsis SEperti MARcos

Lebih tiga tahun lalu, sepintas saya membaca Orde Zonder Order, buku kumpulan tulisan yang membahas praktek kekerasan dan dendam selama Soeharto berkuasa (1965-1998).
Ketika menemukan buku itu kembali, hari ini, di perpustakaan Placid’s Averroes, hati saya sungguh-sungguh bungah.

Saya memang tidak membaca semua karangan di buku editan Frans Husken dan Huub de Jonge tersebut. Namun, saya sungguh terkesan dengan tulisan Jean-Luc Maurer bertajuk “Bermain dengan Kata-Kata ?, Lelucon dan Permainan Kata-Kata sebagai Protes Politik di Indonesia”.

Dalam artikelnya, Profesor Studi Pembangunan dan Politik Asia di Graduate Institute of Development Studies (IUED), Jenewa, Swiss itu, menampilkan banyak bentuk “perlawanan” kata-kata, yang isinya mengejek Soeharto, keluarga dan kroninya. Karena yang diejek adalah penguasa maka guyonannya pun berbau politik. Baik tersurat maupun tersirat. Karena waktu itu Soeharto sangat kuat, tentunya lelucon-lelucon yang bagi saya betul-betul lucu dan kreatif itu, hanya beredar dari mulut ke mulut dan di kalangan tertentu saja. Terutama kelas menengah dan golongan terdidik perkotaan.

Menurut Jean-Luc, semakin represif suatu rezim politik dan hak untuk berbicara semakin dibatasi, maka semakin berkembanglah ejekan-ejekan bawah tanah. Substansi permainanannya berkisar pada cacat, kegagalan, dan kekeliruan pemerintah.

Fakta sejarah mengenai humor kata-kata, di mana-mana menunjukkan hal yang identik. Tidak hanya di Indonesia. Tradisi humor kritik juga pesat di masyarakat Yahudi, saat dan setelah Nazi di puncak. Jumlahnya bahkan mencapai ribuan. Mereka sangat terkenal akan keahlian ini. Lelucon politik juga merambah ke negara-negara bekas komunis otoritarian, seperti Rusia, Republik Ceko, atau Polandia. Yang terakhir ini, malah menganggap lelucon politik layaknya olahraga nasional.

Meminjam terminologi James Scott, praktek-praktek humor politik adalah juga seni perlawananan terhadap dominasi. Sebagai weapon of the weak, senjata orang lemah. Karena bawah tanah, maka makna-makna yang tersimpan dalam transkrip tersembunyi, harus lebih dulu diurai. Dalam konteks ini orang Indonesia yang kreatif-kreatif itu memang jagonya.

Coba saja lihat cerita ini. Seorang lelaki dengan cukup bersemangat bercerita tentang kebijakan Orde Baru di sebuah warung kopi. Ia mengatakan : “Banyak hal baik belakangan dengan pembangunan sekarang ini. Misalnya, kini terdapat cukup banyak dokter gigi yang baik di Indonesia. Namun saya tidak mengerti mengapa semua orang Jakarta yang kaya harus pergi ke Singapura saat memiliki masalah dengan gigi mereka?”. Lelaki yang lain, sedikit lebih skeptis dengan tindakan-tindakan pemerintah manjawab, :”Ya, mudah saja, karena di Jakarta, tidak ada yang berani buka mulut!”…

Lelucon-lelucon seperti di atas sangat banyak dan bertaburan di Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya. Dan tidak hanya masalah pembangunan dan represi politik yang menjadi bahan guyonan. Jean-Luc mencatat, bahwa lelucon-lelucon itu telah merambah ke area keluarga Soeharto dengan sangat sempurna. Contohnya yang ini.

Putri bungsu Soeharto adalah satu-satunya anak Soeharto yang berhasil menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah menengah. Sebagai sarjana IPB, perguruan tinggi yang cukup bergengsi, ia tentu memiliki kadar intelektual lebih daripada kakak-kakak perempuan dan ketiga kakak lelakinya. Tambahan lagi, anak bungsu ini kurang tertarik pada bisnis. Lebih jauh ia seorang pemalu. Hal yang dianggap sebagai kualitas kejawaan. Sebagai mana sebagian besar tanah Austronesia mengenal “budaya malu”.

Suatu ketika Soeharto senang dengan nilai-nilai bagus si bungsu ini, dan mengatakan, “Selamat atas kerja kerasmu. Saya sangat bangga kepadamu. Apa yang kau inginkan sebagai hadiah keberhasilanmu ?”. Ia menjawab, dengan bentuk kesopananan Jawa, “Ah..tidak Pak, terima kasih, saya merasa malu”. Soeharto bersikeras: “ Jangan malu untuk meminta apa saja. Saudara-saudaramu telah mendapatkan banyak dari saya. Kau anak paling pandai dalam keluarga, sekarang giliranmu untuk diberi sesuatu”. Namun ia tetap menjawab:” Tidak, saya malu Pak”. Semakin Soeharto mendesak, semakin ia menjawab:”Malu, Pak. Malu, Pak”. Ibu Tien, yang diam-diam mendengarkan seluruh pembicaraan tersebut, tanpa turut campur sebelumnya, akhirnya menjadi jengkel dan berkata kepadanya :” Berhentilah bersikap konyol !!. Jangan meminta satu-satunya di dunia ini yang tidak dimiliki ayahmu, dan oleh karenanya tidak bisa diberikannya kepadamu !!”.

Selain di atas, banyak humor-humor lain bernada kasar sampai menyerang fisik. Misalnya mendiang ibu Tien yang sering disebut Mrs. Tien Persen (10%), juga di juluki kuda nil karena fisiknya yang gendut. Meski begitu hal itu memiliki makna politis yang dalam. Ini menggambarkan ketidaksukaan sebagian rakyat Indonesia terhadap sosok mantan wanita nomor satu itu, yang sangat tamak dalam berbisnis. Ibu Tien sering disebut sebagai orang paling bertanggungjawab atas gila hartanya anak-anak Soeharto.

Akronim juga menjadi sasaran plesetan. Orang Indonesia, bagi Jean-Luc telah mengembangkan serangkaian humor canggih lewat salah satu ciri khas kebahasaan bangsa ini.

Lihat saja bagaimana Supersemar di plesetkan menjadi dua versi. SUdah PERsis SEperti MARcos dan Suharto Persis SEperti Marcos. RCTI juga memiliki dua versi di antaranya, Raja Cendana Tipu Indonesia, dan ehm..ini lebih sadis, Raja Cendana Turunan Iblis. Produk Jepang juga tidak luput dari incaran. TOSHIBA diartikan sebagai TOmmy-S(H)Igit-BAmbang.

Menteri-menteri, rekan-rekan bisnis Tionghoa, bahkan Parpol juga bisa dipermainkan lewat kata-kata. Harmoko artinya HARi-Hari Omong KOsong. BCA katanya Bank China Asli. PPP menjadi Putra-Putri Presiden.

Selain yang politis, ada juga yang seronok. Seperti merek rokok ARDATH yang dipanjangkan menjadi Aku Rela Ditiduri Asal Tidak Hamil. Ini lebih eksplisit, KOPAJA menjadi KOntol PAnjang JAya. Yang ini muncul pada tahun-tahun 2000-an semisal GARUDA yang memilki kepanjangan dalam dua versi bahasa Inggris, pertama “Go And Rest Until Delay Announced” (Pergi dan beristirahatlah hingga penundaan di umumkan). Dan “Good And Realible Under Dutch Adminstration” (Lebih baik dan dapat diandalkan di bawah pemerintahan Belanda). Satire dan nakal.

Mengingat Soeharto sering menggunakan kekerasan fisik, hingga burujung pada penculikan jika protes aktivis terlampau keras, seperti peristiwa Malari 1974 atau Tanjung Priok 1984. Penggunaan otak-atik kata yang merupakan senjata simbolik, penting bagi mereka yang selama lebih dari 30 tahun berada dalam posisi lemah dan dilemahkan.

*Caricature by : Time Magazine (1997)

1 komentar:

Dasman Djamaluddin mengatakan...

NASKAH ASLI SUPERSEMAR DITEMUKAN ?

Oleh Dasman Djamaluddin

“Presiden Punya Informasi tentang Naskah Asli Supersemar,’ itulah salah satu lead berita yang saya baca.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono katanya memiliki informasi tentang keberadaan naskah asli Surat perintah 11 Maret yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Bahkan Presiden sudah meminta Arsip Nasional menindaklanjuti benar atau tidaknya informasi tersebut.

Sejauh ini generasi muda bangsa masih mendambakan ditemukannya surat asli tersebut.Sejak 11 Maret 1966, naskah asli Supersemar hilang. Di tengah-tengah masyarakat sudah beredar berbagai versi Supersemar. Sudah tentu yang beredar itu naskah palsu, karena yang asli belum ditemukan. Membingungkan, karena naskah aslinya tidak juga ditemukan. Untunglah pencarian naskah asli Supersemar tetap dilaksanakan. Buktinya Presiden RI sekarang punya informasi tentang itu.

Diakui bahwa sudah muncul rasa “bosan”, jika seseorang mendengar naskah asli Supersemar. Apa betul naskahnya bisa diperoleh ? Sebagai contoh, kebosanan itu telah merasuki pola berpikir para intelektual kita dalam Seminar Nasional dan Diskusi Interaktif “Implikasi Wafatnya Soeharto terhadap Kebenaran Sejarah Supersemar,” pada Selasa, 25 Maret 2008 di Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta.

Selain saya sebagai pembicara (Penulis Buku:”Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar”/Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Sejarah Supersemar/LPSS), hadir pula Dr.Anhar Gonggong (Sejarawan), Atmadji Sumarkidjo (Penulis buku:”Jenderal M.Jusuf Panglima para Prajurit”) dan Abdul Kadir Besar (Sekretaris Umum MPRS 1966). Terlihat sangat jelas ada ‘kebosanan’ berbicara tentang naskah asli Supersemar. Bahkan Anhar Gonggong dan Atmadji Sumarkidjo mengatakan, naskah asli adalah bagian masa lalu, oleh karena itu naskah asli Supersemar tidak perlu dicari). Tetapi saya di dalam makalah :”Supersemar, Sumber Sejarah yang Hilang,” tetap bertahan bahwa naskah asli Supersemar harus ditemukan, demi generasi pewaris bangsa ini ( makalah lengkap ada di http://dasmandj.blogspot.com).