Rabu, Mei 28, 2008

Preman Nusantara (1)

Seorang aktivis sebuah NGO internasional bertanya pada teman saya.“Seberapa besar pengaruh preman dalam kehidupan ekonomi-politik di Malang ?”. “Oh ya, tentu saja sangat besar”, jawabnya. “Ruangnya merentang, dari penguasaan lahan parkir sampai gedung parlemen. Ronin-ronin itu harus diakui, turut berinvestasi besar dalam tatatan sosial kita”, teman saya melanjutkan.

Namun, ikatan kelompok mereka sekarang sudah agak begeser. Hubungan antar preman sekarang amat cair. Tergantung job dan order. Beda dengan dulu, pola patron-kliennya masih sangat kuat. Sekarang, siapa punya duit, dia bisa mengumpulkan tukang pukul sebanyak-banyaknya. Terang teman saya lagi.

Meski berbeda karakter, harus diakui bahwa gali, bromocorah, blater, weri, brandal, tukang pukul, jagoan, benggolan, nama lain preman di berbagai daerah, merupakan rangkaian tak terpisahkan dalam sejarah politik kekerasan di nusantara ini. Bahkan eksistensi mereka sudah sangat besar sejak masa pra-kolonial, sejak jaman raja-raja purba dulu. Belajar dari sejarah, “organisasi” preman tidak akan hidup, tanpa ada kemesraan hubungan dengan lembaga kekuasaan resmi.

Saya jadi teringat tulisan Ong Hok Ham, berjudul Peran Jago dalam Sejarah di Kompas tanggal 23 April 1983. Artikel itu sendiri, saya baca lewat buku kumpulan tulisannya, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara.

Waktu Ong menulis esai pendek itu, Indonesia sedang geger besar. Pembunuhan sistematis oleh negara terhadap preman atau yang di tuduh preman, sedang marak terjadi. Saya ingat, beberapa tahun lalu ibu saya pernah menyebutnya petrus. Berasal dari dua kata “penembak” dan “misterius”.

Dalam perjalanan waktu, saya baru tahu ternyata ibu tidak menciptakan akronim tersebut. Itu adalah sebutan umum. Bahkan James T. Siegel juga menyebut kata petrus lewat buku terkenalnya, A New Criminal Type in Jakarta. Menurut Profesor Antropolgi asal Cornell University itu, pada tahun-tahun tersebut, banyak sekali ditemukan mayat orang bertato di mana-mana. Koran setiap hari memberitakan penemuan-penemuan itu. Isinya pun seram-seram.

…Sepuluh lubang peluru yang mengoyak habis tubuh korban ternyata bukan rekor…”Kami juga pernah memeriksa ada 12 peluru bersarang ditubuh seorang korban, dengan lima selongsong peluru di kepalanya”…, (Pos Kota 6 Agustus 1983).

Para korban pembunuhan, waktu itu dikenal dengan nama gali,”gabungan anak liar”. Sebagian besar gali adalah penjahat kelas teri dan anggota geng. Menurut Siegel, banyak dari mereka yang bekerja bagi partai plat merah, Golkar, dalam pemilu satu tahun sebelumnya. Mereka kemudian dicampakkan begitu saja, hingga kembali ke kehidupan semula. Yang tidak diungkap waktu itu adalah, siapa kepala galinya? Dan bagaimana hubungan sang pemimpin dengan pemerintah ?.

Hal yang menarik adalah hampir semua korban memiliki tato. Karena berita koran sangat deskriptif, masyarakat lantas mengidentifikasi kalau gali identik dengan orang bertato. Kadar ini semakin meningkat, bahkan sampai pada titik memiliki tato = gali. Nah, karena saking takutnya, orang-orang yang memiliki tato dengan alasan untuk gaya-gaya-an saja, akhirnya berbondong-bondong datang ke kantor polisi untuk minta perlindungan.

(bersambung)..


paint by: jean michel basquiat. www.villagesavant.com.

Tidak ada komentar: