Kamis, Mei 29, 2008

Preman Nusantara (2)*

Hingga hari ini, Amangkurat I (1646-1677) terkenal sangat tidak populis. Beberapa pembaca sejarah nusantara, bahkan ada yang mengatakan Raja Mataram itu psikopat.

Coba bayangkan, selama masa pemerintahannya, ribuan orang tewas dibantai. Korban yang jatuh tidak hanya "orang-orang penting" saja. Namun, ia juga membantai keluarga, pengikut serta budak politikus-politikus senior, loyalis ayahnya, sang raja tua, Sultan Agung.

Penggayangan besar-besaran terjadi pada tahun 1648, dua tahun setelah sang Raja naik tahta. Seperti cerita Ong Hok Ham, pada tahun itu ,Amangkurat I membunuh adiknya sendiri. Tidak ketinggalan, anak buah sang saudara juga dienyahkan. Pada saat yang sama, ia juga membunuhi ulama, santri, dan pengikut lainnya.

Korban yang tumbang menurut data yang diperoleh Ong, tidak kurang dari lima sampai enam ribu jiwa. Gilanya, dari tahun 1648 sampai 1677 masih terdapat 14 kali pembunuhan massal, meskipun tidak sebesar tahun 1648 itu.

Di sini mulai tampak peran jago dalam merebut atau menjaga kekuasaan. Pada saat damai, mereka menjadi semacam tukang pukul raja, yang setiap waktu menjaga kedaton ataupun rumah pribadi. Mereka lantas menjadi instrumen utama, ketika terjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan. Jumlah tukang pukul; yang kuat fisik dan sakti, tentunya; mencapai ratusan bahkan ribuan.

Preman tumbuh dengan pesat, karena tidak adanya posisi negara sentralistik sokongan konstitusi yang syah dan mapan. Raja-raja jaman dulu, mencantolkan kekuasaannya murni pada kharisma. Namun aura kharismatik bukan melulu bakat, bawaan lahir atau taken from granted. Ia juga disokong lewat legitimasi kuat dari bawah.

Raja oleh karena itu, adalah super-preman. Memang, mitos-mitos yang terus dihembuskan ke masyarakat luas adalah raja tidak lain merupakan wakil Tuhan di dunia. Ia, dalam bahasa Ong merupakan peneriman wahyu kedaton. Atau banyak sebutan lainnya. Tetapi kalau dilihat dari kacamata politik praktis, tidak bisa dipungkiri kalau kekuatan yang membuat raja begitu kuat adalah banyaknya pendekar yang dia miliki.

Dalam perjalanan waktu, akan kita ketahui bahwa perebutan dan pelanggengan kekuasaan lewat kekerasan kebanyakan tidak berumur panjang. Meski elite lama di bantai. Elite baru dibikin, juga diawasi agar tidak terlalu kuat, namun absolutisme raja tidak bisa begitu saja ditegakkan.

Contohnya kasus Amangkurat I. Terbukti meski dia sudah habis-habisan, akhirnya ia harus tumbang juga. Pemberontakan pangeran Madura Trunojoyo tahun 1676, membuat sang raja harus meninggalkan kerajaan. Raja Mataram itu akhirnya mati di Tegal sebagai pelarian setahun kemudian.

Memasuki jaman kolonial, pertumpahan darah yang melibatkan penguasa sudah turun drastis. Ini disebabkan karena tekanan perjanjian buatan pemerintah Hindia Belanda begitu kuat. Sebetulnya, mutu polisi pada waktu itu sangat rendah. Inilah yang membuat pemerintah Hindia-Belanda menggunakan jasa preman. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menjaga stabilitas. Istilahnya, menangkap maling dengan maling. Dan terbukti cara tersebut sangat efisien.

Ketika konsep penguasa ningrat diganti menjadi konsep pegawai pangreh praja kolonial, tahun 1870-an, peran preman mulai sedikit tereduksi. Mereka tidak lagi difungsikan sebagai tukang pukul an sich, namun menjadi mata-mata (blater atau weri). Meski dalam paktek fungsinya sama saja, sebagai jago.

Saat birokrasi sangat ketat. Hubungan preman dengan pemerintah tidak seharmonis sebelumnya. Benturan dan konflik seringkali terjadi. Persolan tidak lagi diselesaikan lewat adu otot. Tetapi lewat prosedur, lewat undang-undang.

Makanya tidak heran, saat revolusi meletus, banyak anggota laskar-laskar kemerdekaan sejatinya adalah perampok dan maling.

Pemerintah Orde lama pun pada saat tertentu, juga menggunakan jasa jago, bahkan secara terang-terangan. Saya ingat satu tulisan Soe Hok Gie, yang dibuat beberapa waktu setelah peristiwa G 30/S meletus. Saya lupa judulnya apa. Tetapi, saya ingat di situ Gie menceritakan pengangkatan Kolonel Sjafei, “penguasa” daerah Senen sebagai menteri, ketika Indonesia chaos, menjelang Orde Lama runtuh.

Trend seperti itu agaknya berlangsung sampai sekarang. Meski dengan karateristik yang berbeda. Namun, seperti kata Ong, preman tidak akan berkembang tanpa adanya simbiosis mutualisme dengan organisasi kekuasaan resmi.


*Terima kasih atas tulisan alm. Ong Hok Ham yang luar biasa.
Paint by : JM. Basquiat. "early moses". www.bejata.com



1 komentar:

sujito mengatakan...

gue juga dulu pernah dinas di licin bro th 2001 smpai 2003.emang pemda malang tak begitu memperhatikan padahal daerah tersebut begitu potensi apalagi skrg udah ada jembatan penhubung 2 kabupaten